Deli Serdang, tintarakyat.com
Keberanian seorang mahasiswi muda di Sumatera Utara, NA (18), telah menggugah perhatian publik. Dengan didampingi keluarga dan pihak pendamping hukum, NA melaporkan seorang tokoh agama terkenal berinisial AHA ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara atas dugaan tindak kekerasan seksual. Laporan ini menjadi bukti bahwa ruang aman bagi perempuan dan anak muda masih harus terus diperjuangkan.
Kejadian ini bermula dari pertemuan di kampung halaman korban, Kabupaten Batu Bara, ketika AHA mengajak NA berdiskusi soal keagamaan. Namun pertemuan itu berubah arah saat NA diajak bepergian ke luar kota, yang tanpa disadarinya berakhir di sebuah penginapan di kawasan Sibolangit, Deli Serdang, pada malam Rabu, 9 April 2025.
Di tempat itu, korban mengaku mendapat perlakuan tidak senonoh yang dilakukan tanpa persetujuannya. Merasa tertekan secara fisik dan psikis, korban akhirnya membuka diri kepada keluarganya. Keluarga pun segera mengambil langkah hukum dengan mendampingi korban membuat laporan resmi ke polisi.
Laporan tersebut telah diterima kepolisian dengan nomor: STTLP/B/637/IV/2025/SPKT/POLDA/SUMUT. Dalam keterangannya kepada wartawan, IL (46), orang tua korban, menyampaikan bahwa saat ini NA sedang dalam pendampingan untuk pemulihan.
“Kami percaya proses hukum bisa menjadi jalan keadilan. Yang terpenting, anak kami merasa aman dan didengar,” kata IL. Selasa (29/04/2025).
Pihak Kepolisian membenarkan bahwa laporan telah diterima dan saat ini sedang dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi serta pengumpulan bukti. Bila terbukti bersalah, terlapor dapat dijerat dengan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang – undang ini secara khusus hadir untuk melindungi korban kekerasan seksual, termasuk menjamin hak atas keadilan, pemulihan, serta perlindungan dari tekanan sosial.
AHA, saat dikonfirmasi terpisah, mengakui telah mengajak korban ke lokasi kejadian dan menyampaikan penyesalan atas perbuatannya. Namun demikian, proses hukum tetap akan berjalan sesuai mekanisme.
Kasus ini menyadarkan publik bahwa kekerasan seksual bisa terjadi bahkan dari sosok yang dianggap panutan. Namun suara korban tak lagi harus dibungkam. Melalui UU TPKS, kini para penyintas memiliki payung hukum yang berpihak pada pemulihan dan keberanian untuk bersuara. (5vf)
Komentar