Tinta Rakyat – SEBAGAIMANA sungai yang sedang dikucur hujan, airnya diyakini mengalir deras menuju muaranya. Begitulah aura yang mengalir dalam badan diri Bujang Salamaik.
Enam hari kemudian setelah Isya, Bujang Salamaik dengan sepeda Rally mampir di Warung Kopi Aciak Kijun.
“Assalamualaikum,” katanya begitu sampai di teras.
“Waalaikumsalam,” jawab Aciak Kijun.
Usai memarkir sepeda dengan menurunkan standarnya, ia melangkah memasuki warung, lalu duduk di tempat biasa di samping kiri etalase menghadap ke barat.
“Minum apa Jang?” tanya Aciak Kijun setelah Bujang Salamaik duduk.
“Biasa. Kopi seteng,” jawabnya.
Aciak Kijun melangkah ke dapur.
Bujang Salamaik memandang ke samping kanannya.
Tampak TV menyiarkan salah seorang dari dua Calon Presiden NKRI sedang blusukan di pemukiman warga yang kebanjiran setelah diguyur hujan deras.
Aciak Kijun muncul dari belakang warung dengan tangan kanan menating segelas kopi.
Ia letakkan kopi galeh ketek itu di atas etalase di samping Bujang Salamaik duduk.
Bujang Salamaik segera mengaduk kopinya beberapa kali, lalu ia minum sesendok.
“Bagaimana Jang? Pahit atau manis?” tanya Aciak Kijun.
“Oke. Tidak pahit tidak manis!” jawab Bujang Salamaik.
Aciak Kijun diam.
Bujang Salamaik juga diam.
Beberapa jenak sunyi.
“Ciak,” kata Bujang Salamaik memecah kebuntuan.
“Ya.”
“Ajo Kenek, Ajo Fuddin, Ajo Kubu, Ajo Karanggo, dan
Ajo-Ajo lainnya pada ke mana?”
“Tetangga sebelah syukuran…”
“O syukuran.”
“Ya.”
“Syukuran apa Ciak?”
“Anaknya lulus tes calon perwira hulubalang negeri!”
“Sebelumnya anaknya bukan perwira pertama?”
“Ya.”
“Baik. Kita tunggu mereka sekalian Ujang ingin menyampaikan sesuatu.”
“Apa itu?”
“Nanti Aciak akan tahu juga setelah Ujang berdialog dengan Ajo Kenek dan Ajo-Ajo lainnya.”
Tak seorang pun yang berbicara.
Beberapa jenak sunyi.
“Itu mereka datang. Syukuran sudah selesai!” kata Aciak Kijun sambil menunjuk ke jalan negara.
Bujang Salamaik mahengongkan kepala ke kiri.
Tampak Ajo Kenek dan Ajo-Ajo lainnya sedang melangkah menuju jalan negara di depan mereka.
Kebetulan jalan negara sedang aman dari lalu lintas kendaraan.
Ajo Kenek dan Ajo-Ajo lainnya segera melintasinya menuju Warung Kopi Aciak Kijun.
Bujang Salamaik seketika berdiri, berjalan beberapa
langkah kemudian berhenti di ruang masuk, lalu memandang ke jalan negara.
Ajo Kenek dan Ajo-Ajo lainnya terus melangkah menyusuri halaman Warung Kopi Aciak Kijun.
Bujang Salamaik melangkah menyongsong, lalu berdiri kemudian menyalami mereka satu-persatu.
Usai bersalaman, Bujang Salamaik menyusul Ajo Kenek dan Ajo-Ajo lainnya memasuki Warung Kopi Aciak Kijun, lalu duduk kembali di tempatnya semula.
Tak seorang pun yang bicara.
Beberapa jenak sunyi.
Bujang Salamaik memandang Aciak Kijun lalu mendehem-dehem.
Ajo Fuddin seketika mendehem-dehem pula.
Begitu juga Yuang Kubu, mendehem-dehem.
“Jo Nek…” kata Aciak Kijun.
“Ya,” kata Ajo Kenek yang duduk di samping Ajo Fuddin.
“Ajo dan kawan-kawan tadi mendapat perlakuan yang istimewa dari Ujang, Balon Wali Nagari dari korong kita…”
“Berupa perlakuan apa?”
“Didatangi lalu disalami satu-persatu.”
“O itu. Aciak ada-ada saja.”
“Benar. Ada nilai plusnya?”
“Apa nilai plusnya?”
“Pasti ada nyamuk di balik kelambu?”
“Aciak janganlah mengada-ada saja…”
“Bukan mengada-ada. Nyata adanya.”
“Perlakuan Ujang itu kepada kami, wajar-wajar dan sahsah saja!”
“Apa argumennya?”
“Karena masih Balon Wali Nagari, Ujang butuh dukungan berbagai pihak, di antaranya yang punya hak pilih!”
“Tidak termasuk pihak yang beruang?”
“Maksud Aciak, seseorang yang beruang yang diharapkan bersedia sebagai sponsor atau penyumbang dana untuk ongkos Ujang ikut Pilwana Punggung Berpasir?”
“Ya!”
“Kalau itu, Ujang yang berhak menjawab.”
Bujang Salamaik diam.
Orang-orang juga pada diam.
“Jawablah Jang!” seru Ajo Kenek.
“Baik,” kata Bujang Salamaik sambil mengulum senyumnya.
Orang-orang yang sedang duduk di palanta Warung Kopi Aciak Kijun menunggu dengan diam.
Tak seorang pun yang berbicara.
Beberapa jenak sunyi. (bersambung)
Komentar