KABA : Tele-nya Nagari Kami (9)

Karya : Rafendi Sanjaya

Tinta Rakyat – “Baik. Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam!” jawab orang banyak.

“Kita semua sudah tahu bahwa akan dipilih Wali Nagari Punggung Berpasir. Apa sudah ada Balon dari korong kita, Korong Jambak Tanjung yang mendaftar?”

Sebagian banyak orang diam, lalu saling berpandangan dengan yang duduk di samping kiri dan kanannya.

“Sebagai Ketua Bamus yang mengarahkan Panitia Pemilihan Wali Nagari Punggung Berpasir, saya jawab sampai tadi sore pukul empat WIB. tidak ada. Jadi…”

“Jadi apa Jo Nek?” sela Yuang Kubu seketika.

“Ada warga Korong Jambak Tanjung yang berniat maju sebagai Balon…”

“Siapa Jo Nek?” tukas Yuang Kubu seketika.

“Bujang Salamaik!”

Pelanggan Warung Kopi AciakKijun pada melirik Bujang Salamaik yang duduk di palanta di depan etalase.

Dengan senyum terkulum Bujang Salamaik mengangkat tangan kanannya ke atas.

“Benar Jang?” tanya Yuang Kubu.

“Ya, jika warga Korong Jambak Tanjung mendukung.”

“Sesuai prinsip bela korong tegakkan korong, kita dukung Ujang.

Ya?” sela Ajo Fuddin.

“Ya!” jawab banyak orang yang hadir.

“Tapi…” kata Ajo Fuddin tertahan.

Orang-orang melirik Ajo Fuddin.

Bujang Salamaik dan Ajo Kenek memandang dengan muka heran.

Tak seorang yang bicara.

Beberapa jenak sunyi.

“Apa tapinya Jo Din?” tukas Aciak Kijun seketika.

“Ujang harus bervisi, bermisi dan berprogram…”

“Iyalah!” tukas Ajo Kenek.

“Kami belum mendengarnya. Tolong Ujang sampaikan!”

“Baik. Sebelum Ujang menyampaikan, perlu kita diketahui bersama bahwa…” kata Ajo Kenek tertahan.

Orang banyak hadir pada melirik Ajo Kenek.

Tak seorang pun yang bicara.

Beberapa jenak kembali sunyi.

“Bahwa apa Jo Nek?” tanya Yuang Kubu seketika.

“Ujang adalah Balon wali nagari milenial…”

“Maksud Jo Nek, dipilih secara tulus dan ikhlas tanpa embel-embel pemilih…”

“Ya. Pilihlah Ujang tanpa ongkos…”

“Maksud Jo Nek, gratis?”

“Ya!”

“Jo Nek!” tukas Ajo Karanggo.

“Ya. Apa Jo?”

“Apa Jo Nek lupa?”

“Lupa apa Jo?”

“Sejak adanya Pilpres dan Pileg pemilih sudah terbiasa diberi sawer!

Jadi…”

“Apa?”

“Berak di WC umum saja membayar!”

“O itu?”

“Ya.”

“Jangan cemas…” tukas Bujang Salamaik seketika.

“Apa?”

“Ujang nantinya membalas dengan kebijakan dan layanan prima yang…”

“Apa?”

“Yang menguntungkan pemilih milenialnya. Ya Jang?”

“Ya!”

“Apa contohnya?”

“Bagi keluarga yang kurang mampu Ujang prioritaskan

memperoleh Bansos…”

“Bansos?”

“Ya!”

“Apa itu Jo Nek?”

“Jangan tanyakan kepada saya…”

“Kepada siapa pasnya?”

“Ujanglah!”

“Jawablah Jang!” timpal Ajo Jadi dengan kepala terkelungkup di atas meja mengakomondir rasa mengantuknya.

“Bansos itu singkatan dari bantuan sosial!”

“Program siapa?” tukas Ajo Karanggo.

“Pemerintah Pusat melalui Kementerian Sosial!”

“Berupa apa?”

“Sembako, BLT, dan PKH!”

“Apa Sembako, BLT, dan PKH itu Jang?” timpal Ajo Jadi lagi kali ini dengan kepala tegak.

“Sembilan bahan pokok, Bantuan Langsung Tunai, Program Keluarga Harapan!”

“O itu?”

“Ya!”

“Di samping itu, apalagi bantuannya Jang?” tukas sekaligus tanya Isman Chandra alias Is Tukak.

“Bantuan biaya kesehatan, bantuan modal pengembangan usaha, bantuan rehab rumah tidak layak huni, bantuan biaya pendidikan, dan

bantuan lainnya. Sedang jalan korong…”

“Diapakan Jang?” sela sekaligus tanya Ajo Fuddin.

“Diaspal dan diberi saluran air di kiri dan kanannya.”

“Dari mana dananya Jang?”

“Bisa dari pemerintah pusat, dan bisa pula dari pemerintah kabupaten kita!”

“Kalau dari pemerintah pusat, dana apa namanya Jang?” tukas sekaligus tanya Uwan Naro.

“Dana Desa atau DD, dialokasikan setiap tahun oleh Pemerintah Pusat sebesar 10% dari jumlah APBN untuk Desa, atau nama lainnya Nagari di daerah kita!”

“Berapa kira-kira besarannya untuk setiap Nagari?”

“Karena jumlah penduduk sedikit, untuk daerah kita jumlahnya setiap tahun rata-rata satu miliar rupiah.”

“Dialokasikan untuk apa saja Jang DD itu?”

“Sebanyak 70 persen untuk pembangunan fisik. Sisanya, sebanyak 30% lagi untuk biaya operasionalnya…”

“O begitu?”

“Ya.”

“Kalau yang untuk pembangunan fisiknya, untuk apa saja Jang?”

timpal sekaligus tanya Mon Tara yang baru pertama kali bicara sejak Bujang Salamaik jadi wacana di Warung Kopi Aciak Kijun sebagai Balon Wali Nagari Punggung Berpasir.

Bujang Salamaik menarik napas beberapa jenak melalui hidungnya.

Tak seorang pun yang bicara.

Orang-orang menunggunya dengan diam.

Bujang Salamaik selesai menarik napas, lalu mengeluarkannya melalui hidungnya.

“Membuka jalan baru atau mengaspal jalan untuk memperlancar arus orang dan barang hasil pertanian atau perkebunan rakyat!”

“Dari mana Ujang tahu?”

“Waktu RUU-nya dibahas-sahkan DPR, Ujang Sespri anggota DPR yang urang awak.”

“Lalu?” sela Aciak Kijun.

“Lebih kurang setahun kemudian keluar peraturan pemerintah atau PP tentang pelaksanaannya. Selanjutnya…”

“Ujang sampaikan niat maju sebagai Balon Wali Nagari Punggung Berpasir. Ya?” tukas dan tanya Aciak Kijun lagi.

“Ya!”

“Bagaimana komentar balau?”

“Balau mendukung secara moril dan material…”

“Lalu?”

“Karena sedikit banyaknya telah tahu, makanya Ujang pulang kampung untuk membangun Nagari Punggung Berpasir!”

Bujang Salamaik diam sambil menarik napas beberapa jenak melalui hidungnya.

Tak seorang pun yang berbicara.

Beberapa jenak sunyi.

“Jang…” tukas Ajo Kenek.

“Ya Jo. Apa?”

“Kabarnya Ujang pulang kampung karena dipecat sebagai Sespri anggota DPR?”

“Bukan dipecat Jo Nek…”

“Kalau bukan dipecat, karena apa?’

“Diberhentikan dengan hormat, atau DdH…”

“Kok DdH?”

“Sespri Anggota DPR bukan PNS atau ASN tetapi tenaga honor dengan perjanjian kerja, atau THdPK…”

“Lalu?”

“Karena periode masa jabatan anggota DPR yang lima tahunan sudah habis, habis pula kontrak Ujang sebagai Sespri!”

“O begitu?”

“Ya!”

“Jang,” sela Yuang Kubu dengan suara basnya.

“Ya. Apa Jo?”

“Tidak berapa bulan lagi negara kita akan melaksanakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada serentak…”

“Ya. Lalu?”

“Apakah balau akan maju lagi sebagai calon anggota DPR?”

“Tidak!”

“Kok tidak?”

“Balau berencana ikut Pilkada!”

“Maksud Ujang, maju sebagai sebagai Balon Bupati daerah kita?”

“Ya. Makanya kami sepaket nantinya!”

“Sepaket?” tukas sekaligus tanya Ajo Karanggo.

“Ya. Karena jadwal pemilihannya serentak, yang memilih Ujang sebagai Wali Nagari diharapkan memilih balau pula tetapi sebagai bupati daerah kita…”

“Jang…” sela Isman Chandra alias Is Tukak seketika.

“Ya.”

“Bagaimana mungkin kami akan mendukung jika belum mendengar visi, misi dan program Ujang sebagai Balon Wali Nagari Punggung Berpasir!”

“O begitu?”

“Ya!”

“Sampaikanlah Jang!” tukas Ajo Kenek.

Bujang Salamaik sejenak diam tetapi mengulum senyumnya.

“Bagaimana Jang?” tukas Uwan Naro.

“Apa?”

“Visi, misi dan program Ujang sebagai Balon Wali Nagari

Punggung Berpasir?”

“Sampaikanlah Jang!” sela Aciak Kijun.

“Baik. Tetapi karena…”

“Apa Jang?”

“Begini Jo Nek…”

“Ya.”

“Karena waktu terbatas lagi pula belum semuanya tertuliskan, apa

saja yang akan Ujang sampaikan?”

“Visi, misi, dan garis besar programnya!”

“Baik.”

Bujang Salamaik mengeluarkan kertas terlipat empat dari saku baju sebelah kirinya.

Setelah keluar, ia buka lipatannya, lalu bergantian memandang Ajo Kenek, Ajo Fuddin, dan Yuang Kubu.

“Visinya adalah Terwujudnya Nagari Punggung Berpasir yang nyaman dan sejahtera masyarakatnya berdasarkan adat timur yang santun dan agama berketuhanan yang tauhid”.

Setelah menyampaikannya, sambil mengulum senyum ia lirik ke kiri dan ke kanan, lalu ke depannya.

Orang-orang yang diliriknya itu pada diam.

Ajo Kenek melirik Yuang Kubu.

“Ada yang akan Jo Kubu sampaikan?” tanya Ajo Kenek.

“Ya!”

“Sampaikanlah!”

“Maksud Ujang kata lain dari berdasarkan adat timur yang santun dan agama berketuhanan yang tauhid adalah berdasarkan pedoman hidup orang Minang, yakni adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah?”

“Ya!”

“Berarti Ujang setuju…”

“Apa?”

“Memfungsikan kembali mamak adat dan mamak syarak sebagai pemimpin informal…”

“Ya, terutama untuk memimpin sanak-kemenakan atau kaumnya.”

“Kenapa Ujang setuju?”

“Karena generasi muda kita baik secara daerah mapun nasional pada umumnya telah krisis jati diri sehingga kehilangan identitas!”

“Krisis jati diri sehingga kehilangan identitas akibat negatif dari adanya globalisasi dan modernisasi. Ujang tidak ingin generasi muda Nagari Punggung Berpasir krisis jati diri dan kehilangan identitas pula!”

“Apa yang akan Ujang lakukan?”

“Bukan sekedar mencegahnya, tetapi beridealisme, generasi masa depan berakhlak mulia berdasarkan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, sehingga terwujudlah Nagari yang nyaman masyarakatnya…”

“Bagaimana dengan Nagari yang sejahtera masyarakatnya?”

“Itu salah satu dari lima misi yang akan Ujang laksanakan apabila terpilih sebagai Wali Nagari Punggung Berpasir.”

“Apa salah satu rumusan misinya?”

“Meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha kecil dan menengah dengan memberi bantuan atau pinjaman lunak. Lembaganya belum ada, tetapi sudah ada aturannya…”

“Apa?”

“Pemerintah Nagari wajib membentuk Badan Usaha Milik Nagari atau BumNag!”

“Bagaimana dana untuk modalnya?”

“Sudah ada pula aturannya…”

“Tolong Ujang ungkapkan!”

“Pemerintah Nagari wajib memberikan suntikan modal…”

“Dananya dari mana?”

“Dari Dana Alokasi Umum Nagari atau DAUN!”

“Untuk apa saja alokasinya?”

“Sesuai aturan dari Pemerintah Kabupaten, alokasinya antara lain untuk menjalankan roda pemerintahan, melaksanakan pembangunan dalam rangka meningkatan kesejahteraan umum masyarakat,

pengembangan dan pelestarian seni budaya, pemantapan kehidupan beradat dan beragama, dan lain sebagainya.”

Usai mengucapkannya, Bujang Salamaik diam, lalu menarik napas beberapa jenak melalui hidungnya.

Beberapa jenak sunyi.

Bujang Salamaik selesai menarik napas dengan mengeluarkannya kembali melalui hidungnya pula.

“Ada tanggapan?” katanya setelah dirinya merasa lega.

Ajo Fuddin segera mengangkat tangannya.

“Silahkan. Mengingat terbatasnya waktu, to de point saja.”

“Baik. Setelah disuntik modal, BumNag dibagaimanakan Jang?”

”BumNag memberdayakan ekonomi masyarakat Nagari dengan memberikan pinjaman modal pengembangan usaha kecil, menengah dan mikro!”

“Berapa jumlah dana pinjamannya Jang?”

“Sesuai peraturan bupati, antara lima sampai sepuluh juta rupiah untuk usaha perorangan!”

“Apa contoh usahanya Jang?”

Bujang Salamaik melirik Ajo Jadi yang mendengar sosialisasi dengan mata terkantuk-kantuk.

“Contohnya Jo Jadi…”

“Bagaimana dengan Jo Jadi?”

“Mata pencaharian balau sehari-hari sebagai penyedia jasa memetik buah kelapa dengan menggunakan Beruk.”

“Lalu?”

“Beruk Ajo Jadi sudah tua, perlu diremajakan.”

“Ya, benar!” tukas Ajo Fuddin.

“Jo Jadi meminjam dana ke BumNag untuk pembeli Beruk. Misalnya Rp. 2,5 juta.”

“Dalam rangka berapa bulan?”

“Minimal enam bulan, maksimalnya 60 bulan.”

“O, setengah tahun hingga lima tahun.”

“Ya.”

“Berapa persen bunganya sebulan?” tukas Ajo Jadi bertanya seketika.

“Tidak berbunga tetapi bagi hasil!”

“Berapa bagi hasilnya?”

“Sesuai kesanggupan dan kesepakatan!”

“O secara syariah!” tukas Ajo Fuddin.

“Ya.”

“Bagaimana Jo Jadi? Setuju?”

“Setujulah!” jawab Ajo Jadi yang telah mengangkat kepalanya dengan matanya tampak masih terpejam.

Tak seorang pun yang bicara.

Beberapa jenak sunyi. (bersambung)

Komentar