KABA : Tele-nya Nagari Kami (8)

Karya : Rafendi Sanjaya

Tinta Rakyat – BUJANG Salamaik sudah bersosialisasi dengan perwakilan elemen masyarakat pada lima korong dari enam korong dalam wilayah Nagari Punggung Berpasir.

Satu korong lagi yang belumnya adalah di korongnya sendiri yaitu Korong Jambak Tanjung dengan Warung Kopi Aciak Kijun sebagai warung kopi paling banyak pengunjungnya.

Ajo Kenek menilai kelima kali sosialisasi Bujang Salamaik terasa hambar dan kurang menggairahkan elemen masyarakat korong atau dusun yang hadir.

Karena itulah Ajo Kenek meminta Bujang Salamaik mengubah teknis sosialisasi sehingga menarik dan membekas bagi elemen masyarakat korong yang hadir.

Bujang Salamaik dan tim sukses relawannya – Ajo Fuddin dan Yuang Kubu – setuju.

Maka malam itu setelah Isya, Bujang Salamaik ke Warung Kopi Aciak Kijun, lalu duduk di palanta timur di depan etalase.

Di belakang etalasenya berdiri Aciak Kijun memandang ke halaman warung.

“Ciak…” katanya.

“Ya. Apa Jang?”

“Cukup Aciak saja yang tahu, kalau minuman yang dipesan seperti biasanya, saya yang bayar.”

“Kok gitu Jang?”

“Malam ini sosialisasi terakhir Ujang di korong sendiri!”

“O, begitu. Apa minuman Ujang?”

“Kopi gelas kecil, Ciak!”

Aciak Kijun melangkah ke dapur.

Bujang Salamaik melirik TV yang sedang menayangkan serial film India.

Ia perhatikan beberapa jenak kemudian melengos ke arah dapur.

Tampak Aciak Kijun melangkah dengan tangan kanan menating kopi gelas kecil, lalu meletakkan di atas etalase di samping tempat duduknya.

Ia segera mengaduknya dengan sendoknya.

Aciak Kijun sambil berdiri di belakang etalase memperhatikan pekarangan warungnya.

Tampak beberapa orang pelanggan warung kopinya mulai berdatangan.

Enam orang melangkah beriringan dari bahu jalan bagian matahari terbit.

Bagai sudah dicarter, empat orang langsung duduk dengan posisi berpasangan di palanta sebelah selatan.

Salah seorang di antaranya mengeluarkan batu domino dari kotaknya.

Aciak Kijun sambil mengulum senyumnya, kembali memperhatikan pekarangan warung.

Tampak enam orang melangkah beriringan dari bahu jalan bagian matahari tenggelam. Empat orang di antaranya langsung pula duduk dengan posisi berpasangan memandang halaman warung dan menghadap ke TV. Salah seorang diantaranya meletakkan ke tengah meja tiga kotak kertas koa.

Empat orang laginya duduk di palanta di samping Bujang Salamaik duduk.

“Ajo-Ajo, apa minumannya?” tanya Aciak Kijun.

“Tunggu dulu Ciak,” tukas Ajo Fuddin yang duduk di palanta matahari tenggelam dengan suara basnya.

“Pesanlah minuman biasanya. Sudah ada yang bayar!”

“Siapa Ciak?” tanya Ajo Fuddin.

“Orangnya tak perlu diungkapkan. Pokoknya ada tetapi minumannya sebagaimana biasanya,” ujar Aciak Kijun.

“Apa ada udang dibalik batunya?”

“Ada. Bersosialisasi!”

“O, Balon Wali Nagari Punggung Berpasir. Baik, kawan-kawan, pesanlah minuman yang biasa diminum. Sudah ada yang membayar!

Tolong simak sosialisasi dengan baik. Oke?” kata Ajo Fuddin kembali dengan suara basnya.

“Oke!” jawab kawan-kawan Ajo Fuddin nyaris serentak.

Lalu mereka berebutan memesan minuman sesuai kesukaan masing-masing.

Selesai menghapal pesanan pelanggannya, Aciak Kijun melangkah ke dapur.

Bujang Salamaik sambil mengulum senyumnya, memperhatikan gerak-gerik kawanan Ajo Fuddin.

Di palanta di bagian matahari terbenam terdengar batu domino diempaskan ke atas meja.

Di palanta membelakang halaman dan menghadap TV terdengar tangan mengetuk meja pertanda salah seorang pemain koa telah coki.

Empat kawanan lainnya menonton TV yang menayangkan film seri India.

Bujang Salamaik memalingkan kepalanya ke kiri.

Tampak beberapa orang dari bahu jalan sebelah kiri, dan beberapa orang pula dari bahu jalan sebelah kanan, melangkah beriringan menuju Warung Kopi Aciak Kijun.

Bujang Salamaik seketika teringat Ajo Kenek.

“Jo Din!” katanya.

“Ya. Apa Jang?”

“Ajo Kenek kok belum datang?”

“Ujang telepon dia!”

“Baik.”

Bujang Salamaik segera mengeluarkan telepon selulernya dari saku celana sebelah kanannya, lalu menghidupkannya.

Setelah telepon selulernya itu hidup, ia pencet nomor HP Ajo Kenek.

Panggilan masuk tetapi di luar jangkauan.

Bujang Salamaik meletakkan telepon selulernya di atas etalase.

“Assalamualaikum!” kata seseorang dengan suara basnya.

Bujang Salamaik segera meliriknya.

Rupanya Yuang Kubu.

“Waalaikumsalam, silahkan duduk,” katanya.

Yuang Kubu dan kawan-kawan memasuki Warung Kopi Aciak Kijun.

Aciak Kijun muncul dari dapur dengan menating sebuah baki berisi delapan gelas minuman.

Yuang Kubu dan tiga kawannya terus melangkah menuju tempat duduk yang masih kosong di muka etalase yang membelakangi TV.

Empat kawanan Yuang Kubu lainnya duduk di palanta di pojok warung sebelah kiri matahari terbenam.

Aciak Kijun selesai menating minuman untuk pemain domino.

Setelah selesai, empat gelas minuman sisanya ia tating ke meja pemain koa.

Selesai menating, ia bawa bakinya ke dapur, lalu muncul lagi menating minuman untuk empat pelanggan yang menonton siaran TV.

“Ajo-Ajo yang baru datang, minum apa?” kata Aciak Kijun bertanya.

“Seperti yang biasa sajalah!” kata Yuang Kubu dengan suara basnya.

Aciak Kijun mengkode Bujang Salamaik dengan menaikkan kedua alias matanya.

Bujang Salamaik menganggukkan kepalanya.

Aciak Kijun melangkah ke dapur.

“Kubu!” teriak seseorang dengan suara basnya dari bahu jalan Warung Kopi Aciak Kijun.

“Ya. Siapa?”

“Jo Nek!

“O Jo Nek. Ada apa Jo?’

“Sudah lengkap hadir!”

“Sudah!”

“Termasuk kelima urang sumando korong kita?”

Yuang Kubu segera melirik ke kiri dan ke kanannya.

Tampak kelimanya duduk di palanta langganannya.

“Sudah!”

Ajo Kenek yang menghadap ke arah mata hari terbenam mengkode dengan menarik tangan kanannya ke arah dadanya tiga kali.

Orang-orang yang dikode Ajo Kenek tiba di bahu jalan di depan halaman Warung Kopi Aciak Kijun tampak berbegas melangkah.

Jumlahnya dua orang.

Lalu, dengan Ajo Kenek di depan, ketiganya berjalan beriringan dari belakang.

“Assalamualaikum,” kata Ajo Kenek.

“Waalaikumsalam,” jawab Bujang Salamaik dan sebagian pelanggan Warung Kopi Aciak Kijun.

“Di mana kami duduk, Ciak?” tanya Ajo Kenek.

Aciak Kijun menunjuk palanta domino Yuang Kubu.

Kedua kawannya duduk di palanta di samping kiri dan kanan meja domino Yuang Kubu yang masih kosong.

“Jo Kubu,” kata Ajo Kenek.

“Ya.”

“Tampaknya sudah lengkap hadir…”

“Jangan langsung dimulai Jo Nek,” kata Yuang Kubu.

“Kenapa?”

“Kami sedang tanggung bermain domino. Tundalah agak sepuluh menit sambil menghabiskan minuman masing-masing.”

“Baik. Kawan-kawan, pesanlah minuman,” kata Ajo Kenek.

Aciak Kijun memberikan kursinya kepada Ajo Kenek.

Ajo Kenek pun duduk di samping kanan tiang di mana tertempel pengumuman perihal persyaratan Balon Wali Nagari Punggung Berpasir.

“Jo Nek minum apa?” tanya Aciak Kijun.

“Kopi!”

“Kawan-kawan Jo Nek minum apa?”

“Aciak tanya langsung!” jawab Ajo Kenek.

Kedua kawan Ajo Kenek menyebut minuman yang dipesannya.

Aciak Kijun pun melangkah ke dapur.

Ajo Kenek mengkode Bujang Salamaik dengan menarik telapak tangan kanannya ke dadanya.

Bujang Salamaik berdiri, melangkah lalu berdiri di samping kiri Ajo Kenek.

Ajo Kenek membisikkan sesuatu kepada Bujang Salamaik.

Bujang Salamaik menjawab dengan berbisik pula.

Ajo Kenek mengangguk.

Bujang Salamaik kembali ke tempat duduknya.

“Aman Jo Kubu!” tukas Ajo Kenek.

“Apa yang aman?” tanya Yuang Kubu.

“Dana minuman malam ini. Beli rokok tidak.”

“Kenapa?”

“Tidak masuk agenda sosialisasi.”

“O, begitu. Jo Nek mulailah.”

“Sudah selesai Jo Kubu main domino?”

“Sudah!”

“Jang…”

“Ya Jo Nek.”

“Kita mulai sosialisasi?”

“Ya, tolong Jo Nek sampaikan pengantarnya dahulu.” (bersambung)

Komentar