Tinta Rakyat – BESOK malamnya sesuai perjanjian, keduanya akan sama-sama bersosialisasi ke Korong Bodi Panyalai atau korong ketiga dari enam korong dalam wilayah Nagari Punggung Berpasir.
Untuk itu, Bujang Salamaik diminta menunggu Ajo Kenek setelah Isya di Warung Kopi Aciak Kijun.
Maka besok malamnya setelah Isya tibalah Bujang Salamaik di Warung Kopi Aciak Kijun.
“Malam Ciak!” katanya menyapa.
“Malam juga. Bagaimana Jang? Sehat dan aman?”
“Alhamdulillah, sehat dan aman!”
Bujang Salamaik lalu duduk di palanta biasa ia duduk.
“Ujang mau minum apa?”
“Biasa. Kopi gelas kecil.”
Aciak Kijun melangkah ke dapur.
Bujang Salamaik memperhatikan TV yang sedang menyiarkan berita internasional sekilas lintas.
Bujang Salamaik menyimaknya beberapa jenak, kemudian menggeser sedikit kepala ke kiri lalu memandang ke arah dapur.
Tampak Aciak Kijun sedang melangkah ke etalase dengan tangan kanan menating segelas kopi.
Ia letakkan kopi itu di atas etalase di depan Bujang Salamaik duduk.
Bujang Salamaik segera mengaduknya dengan sendoknya.
Aciak Kijun memperhatikannya dengan diam.
Bujang Salamaik selesai mengaduknya.
Ia lirik Aciak Kijun.
Aciak Kijun mengulum senyumnya.
“Kok lengang Ciak?” katanya bertanya.
“Orang wirid di Surau Nagari tetangga di sepadan korong kita!”
“Apa Jo Kenek ikut menghadiri wirid?”
“Bisa jadi karena ia urang sumando di korong sana!”
Bujang Salamaik terdiam.
“Jang!” teriak seseorang dari halaman warung.
Bujang Salamaik mahengong ke arah datangnya suara.
“Suara siapa itu, Ciak?”
“Yuang Kubu.”
Yuang Kubu melangkah diiringi lima pelanggan Warung Kopi Aciak Kijun lainnya.
Bujang Salamaik berdiri, lalu berjalan beberapa langkah, kemudian menyalami Yuang Kubu dan rombongannya.
Usai menyalami mereka, Bujang Salamaik mundur dua langkah selanjutnya duduk kembali di palanta di samping etalase.
Yuang Kubu dan tiga dari lima pengiringnya duduk di palanta tengah.
Dua pengiring Yuang Kubu lainnya, duduk menghadap ke TV.
Setelah duduk, kelima pengiring Yuang Kubu memesan minumannya masing-masing: Teh Telor, Kopteng, Teh Manis dan Susu Soda.
“Jo Kubu minum apa?” tanya Aciak Kijun selesai pengiring Yuang Kubu memesan minumannya.
“Bedakan dengan mereka berlima,” jawab Yuang Kubu.
“Jo Kubu bukan keluar dari surau?” tanya Bujang Salamaik.
“Bukan!”
“Sudah pasti tidak bertemu dengan Jo Nek!”
“Iyalah.”
Tak seorang pun yang bicara.
Beberapa jenak sunyi.
“Perlu apa Ujang dengan Jo Nek?” kata Yuang Kubu seketika memecah kebuntuan.
“Bergonceng bersosialisasi.”
“O, belum selesai Jo Kenek bersosialisasi ke seluruh korong.”
“Belum. Dengan semalam sudah berapa korong baru dua korong…”
“Berapa korong lagi yang belum?”
“Empat…”
“Korong mana semalam?”
“Bodi Panyalai. Tempatnya di warung kopi Angah Kujar!”
“O, itu warung kopi sekaligus palanta politik yang paling
berpengaruh di nagari kita”
“Kata orang iya Jo.”
“Beruntung Ujang dibawa Jo Kenek ke sana. Siapa saja yang duduk di sana?”
“Perwakilan elemen masyarakat seperti mamak adat, mamak syarak, cadiak pandai, urang tuo, bundo kandung, urang sumando dan urang mudo.”
“O itu?”
“Ya.”
Tak seorang pun yang berbicara.
Yang terdengar hanya suara siaran TV.
Sejenak fakum. (bersambung)
Komentar