Tinta Rakyat – BESOK malamnya setelah Isya, Bujang Salamaik telah duduk di palanta sebelah timur Warung Kopi Aciak Kijun.
Ia pesan kopi gelas kecil, lalu memandang TV beberapa jenak.
Beberapa jenak kemudian Aciak Kijun muncul dari dapur warung dengan membawa kopi gelas kecil, lalu meletakkannya di atas etalase di samping kanan tempat duduk Bujang Salamaik.
Bujang Salamaik segera mengacaunya dengan sendoknya.
Setelah tujuh kali kacau, ia berhenti lalu memandang Aciak Kijun yang juga sedang memandangnya.
“Ciak, tolong HP Jo Kenek,” katanya.
“Untuk apa?”
“Apa Aciak lupa janji Jo Kenek semalam, mengajak Ujang sama-sama bersosialisasi malam ini setelah Isya.”
“O, itu. Tunggulah agak beberapa menit lagi.”
“Baik. Kalau belum datang juga, tolong Aciak telepon dia.”
“Oke! Kebetulan pelanggan Aciak sudah pada berdatangan.”
Bujang Salamaik menoleh ke kiri warung.
Tampak beberapa orang melangkah beriringan di halaman warung, lalu duduk di palanta sebelah barat yang masih kosong, kemudian memesan minumannya.
Aciak Kijun melangkah ke dapur membuat minuman pesanan para pelanggannya itu.
“Jang…” seru salah seorang dari mereka.
Bujang Salamaik menoleh ke arah datangnya suara.
“O, Jo Din. Ada apa Jo?”
“Kurang surang. Bakoa kita?”
“Maaf Jo, ambo menunggu Ajo Kenek, mau bergonceng bersosialisasi dalam rangka maju sebagai Balon Wali Nagari Punggung Berpasir?”
“Apakah itu bakal menjamin apabila tercalon orang akan memilih Ujang di hari pemilihan nanti?”
“Belum…”
“Kok belum?”
“Soalnya, ambo belum menyampaikan visi dan misi serta program sebagai Balon Wali Nagari.”
“Jang…”
“Ya.”
“Jo Nek kalau berjanji datang sering mengulur waktu tiba. Jadi, menjelang dia datang, bakoa kita!”
“Ambo tak pandai bakoa.”
“Kalera. Sejak cakalah katakan,” umpat Ajo Fuddin sambil meninju meja dengan tangan kanannya.
Bunyinya yang berdentam keras mengejutkan orang-orang yang sedang asyik menonton TV yang menayangkan film India.
Aciak Kijun melangkah dari dapur menating baki berisi beberapa gelas minuman, lalu ia letakkan satu-persatu di atas meja di depan Ajo Fuddin dan kawan-kawan duduk.
Ajo Fuddin dan kawan-kawan memperhatikannya dengan diam.
Kelompok palanta Bujang Salamaik duduk pun
memperhatikannya dengan diam.
Aciak Kijun selesai menating minuman.
Dengan tangan kanan memegang baki, ia melangkah menuju dapur, lalu kembali dan berdiri di belakang etalase.
“Ciak,” sapa Bujang Salamaik begitu Aciak Kijun berdiri di depan etalase.
“Apa Jang?” tanya Aciak Kijun.
“Sesuai janji Aciak tadi, tolong HP Jo Kenek.”
“Baik.”
Aciak Kijun mengeluarkan HP dari saku celana sebelah kanannya.
Setelah keluar, ia hidupkan lalu menelepon Ajo Kenek.
HP-nya masuk tetapi Ajo Kenek tidak mengangkatnya.
Aciak Kijun menggelengkan kepalanya.
“Bagaimana, Ciak?” tanya Ajo Fuddin.
“Panggilan masuk tetapi di luar jangkauan.”
“Ulang sekali lagi Ciak.”
Aciak Kijun mengulang meng-HP Ajo Kenek.
Terdengar bunyi panggilan menyambung tetapi yang terdengar bunyi HP-nya di luar jangkauan.
“Jang,” tukas Ajo Fuddin.
“Ya, Jo.”
“Mungkin Jo Kenek lupa.”
“Tidak mungkin lupa!” sela Aciak Kijun.
“Kalau tidak lupa? Apa?”
“Ada halangan.”
“Ada halangan?”
“Ya.”
“Tak mungkin!”
“Kenapa?”
“Jo Kenek lelaki bukan perempuan!”
“Kalera. Bukan halangan itu yang Aciak maksud.”
“Apa?”
“Sudahlah. Susah kita bicara dengan orang yang sudah terbiasa hidup sebagai orang kota.”
“Maaf kalau Aciak tersinggung.”
“Tak apa-apa. Aciak sudah langganan dilecehkan orang.”
Tak seorang pun yang bicara.
Beberapa jenak sunyi.
Tiba-tiba terdengar sayup-sayup bunyi knalpot resing sepeda motor.
Orang-orang saling berpandangan tetapi diam.
Bunyinya semakin lama terdengar semakin keras. (bersambung)
Komentar