Tinta Rakyat – Bujang Salamaik bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan ke tiang tempelan pemberitahuan.
Setelah dekat, ia baca dengan teliti kalimat-kalimat yang tertulis di pemberitahuan itu.
“Jang…” kata seseorang.
Bujang Salamaik melirik ke arah datangnya suara.
“O, Jo Din. Ada apa Jo?” katanya bertanya.
“Sudah selesai Ujang membacanya?”
“Sudah!”
“Kalau begitu, sudah paham isinya?”
“Ya!”
“Berminat maju sebagai Balon Wali Nagari Punggung Berpasir?”
Bujang Salamaik diam.
“Majulah. Ujang kan sarjana administrasi negara!” tukas Aciak Kijun.
Terdengar bunyi kenalpot resing sepeda motor.
“Itu sepeda motor Jo Kenek tadi!” tukas Aciak Kijun.
Sepeda motor kenalpot resing itu memasuki halaman kemudian berhenti di depan Warung Kopi Aciak Kijun.
Ajo Kenek turun dari sepeda motor resingnya, lalu dengan santai ia melangkah memasuki Warung Kopi Aciak Kijun.
Orang-orang memperhatikannya dengan diam.
“Assalamualaikum!” katanya dengan suara basnya setelah berada di teras warung.
“Waalaikumsalam!” jawab sebagian banyak orang.
“Jo Nek…” kata Ajo Fuddin.
“Ya,” kata Ajo Kenek di depan kertas pengumuman tadi.
“Dibuka kertas koa ini?”
“Sebentar Jo Din.”
“Asal kehendak dikabulkan, saya tunggu Jo Nek.”
“Terima kasih. Ambo berdiri di hadapan Saudara- Saudara sebagai Ketua Bamus Nagari Punggung Berpasir…”
“O, Ketua Bamus Ajo Kenek kini!” tukas Ajo Fuddin.
“Ya. Sudah setahun lebih.”
“Jang,” sela Aciak Kijun.
“Ya, Ciak.”
“Ada yang akan Ujang tanyakan kepada Jo Nek?”
“Ada.”
“Sampaikanlah!”
“Jo Nek.”
“Ya.”
“Berapa paling banyak calon wali nagari yang akan dipilih?”
“Lima…”
“Kalau lebih?”
“Diseleksi oleh pihak kantor bupati melalui tes tertulis dan wawancara. Apa Ujang berminat maju sebagai calon?”
“Mana mungkin Jo Nek!”
“Kenapa?”
“Ujang ayam jantan yang batandang dari luar Nagari Punggung Berpasir, alias bukan pribumi asli. Lagi pula…”
“Apa?” tukas sekaligus tanya Aciak Kijun.
“Untuk maju sebagai calon, ibarat sapi melahirkan anak, sedikit banyak berdarah juga.”
“Maksud Ujang uang untuk ongkosnya?”
“Ya!”
“Itu tak terlalu prinsip. Yang penting, jika sudah resmi ditetapkan sebagai Calon Wali Nagari, Ujang harus usahakan dan yakinkan…”
“Siapa Jo?”
“Mayoritas warga nagari yang punya hak pilih untuk memilih Ujang pada waktu Pilwana atau hari pemilihan.”
“Tentu ada kiat dan siasatnya Jo?”
“Iyalah.”
“Apa Jo?”
“Pertama, Ujang rumuskan visi dan misi sesuai dengan bahasa yang dipahami masyarakat calon pemilih!”
“Selanjutnya?”
“Ujang buat program yang memikat hati mereka!”
Bujang Salamaik terdiam dengan pikiran melayang ke tempat tak berhingga.
Tak seorang pun yang bicara.
Beberapa jenak sunyi.
Ajo Fuddin mengkode Aciak Kijun dengan memonyongkan mulutnya ke arah Bujang Salamaik.
“Jang,” kata Aciak Kijun memecah kesunyian.
“Ya, Ciak.”
“Apa mungkin Ujang menjemput aspirasi pemilih dari rumah ke rumah?”
“Apa masalahnya Ciak?”
“Batas waktu untuk pendaftaran sudah semakin mendekat.”
“Mungkin Ciak!” timpal Ajo Kenek.
“Bagaimana mungkin Jo Nek?” tukas sekaligus tanya Bujang Salamaik.
“Ujang ikut Ajo ketika mensosialisasikan prosedur dan
persyaratan pemilihan Wali Nagari Punggung Berpasir.”
“Kapan?”
“Besok.”
“Di mana?”
“Di Korong Bodi Panyalai. Ujang tunggu Ajo besok malam usai Isya di Warung Kopi Aciak Kijun ini!”
“Baik. Terima kasih Jo Nek.”
“Sama-sama!”
Ajo Kenek dan mandannya pun bermain kertas remi melawan Ajo Fuddin dan mandannya.
Orang-orang yang lainnya kembali menonton siaran TV yang menayangkan film India.
Bujang Salamaik menekur menatap lantai Warung Kopi Aciak Kijun.
Di kepalanya tumbuh angan-angan seandainya bisa maju sebagai calon Wali Nagari Punggung Berpasir. (bersambung)
Komentar