KABA : Tele-nya Nagari Kami (1)

Karya : Rafendi Sanjaya

Tinta Rakyat – MALAM itu setelah Isya, warung Kopi Aciak Kijun salah satu warung kopi di Korong Jambak Tanjung di wilayah Nagari Punggung Berpasir, puluhan lelaki sudah duduk di palantanya.

“Ciak…” kata Ajo Fuddin yang duduk membelakang halaman warung.

“Ya. Apa Jo Din?” kata Aciak Kijun yang berdiri di belakang etalase warungnya menghadap ke halaman.

“Kurang surang. Bakoa kita?”

“Ajo tunggulah beberapa saat lagi. Sudah masuk ke WA saya, akan datang pemain cadangan…”

“Siapa?”

“Bujang Salamaik.”

“Bujang Salamaik?”

“Ya.”

“Yang tinggal di pondok di atas tanah milik irigasi di belakang Surau Korong Jambak Tanjung?”

“Ya.”

“Ambo satu SMAN Lubuk Beralung dengannya, tetapi tidak pernah selokal.”

“Ambo juga.”

“Jadi Aciak tamat SMAN Lubuk Beralung juga?”

“Ya.”

“Kok tidak pernah kita ketemu di pekarangan sekolah atau di lapangan upacara?”

“Ajo lebih dahulu masuk dan keluar dibanding ambo…”

“O begitu?”

“Ya.”

Tak seorang pun yang berbicara.

Beberapa jenak sunyi.

“Jo Din,” kata Aciak Kijun memecah kebuntuan.

“Ya. Apa Ciak?”

“Bujang Salamaik sejak tamat SMA sudah bertahun- tahun merantau ke Jawa…”

“Mengapa?”

“Dikuliahkan mamaknya yang bos puluhan rumah makan Padang se-Jabodetabek.”

“O begitu?”

“Ya!”

Tak seorang pun yang bicara.

Beberapa jenak sunyi.

“Ciak,” kata Ajo Fuddin memecah kebuntuan.

“Ya. Apa Jo Din?”

“Sudah lama Aciak berkawan dengannya?”

“Tidak. Ambo sebulan ke Bogor. Kami bertemu di rumah makan mamaknya. Kami saling menyimpan nomor HP…”

“Ciak! Ciak!“ sela Isman Chandra alias Is Tukak yang duduk di palanta sebelah selatan menghadap jalan negara.

“Ya. Apa Tukak?”

“Bukankah yang sedang menyebrang jalan itu dia!”

“Maksud waang, si Bujang Salamaik?”

“Iyalah.”

Aciak Kijun melihat ke jalan negara di depan warung kopinya.

Tampak di seberang jalan negara di depan Surau

Korong Jambak Tanjung, seseorang berdiri sambil melihat ke kiri dan ke kanan jalan.

“Ya. Itu dia!” tukas Aciak Kijun.

Ajo Fuddin segera memutar kepalanya ke belakang, lalu

memandang ke halaman warung.

Tampak seseorang sedang melangkah menyeberang jalan negara dengan tangan kanan memberi aba-aba kepada kendaraan roda dua yang sekitar lima puluh meter sedang melaju ke arahnya.

“Ya. Dia!” ujar Ajo Fuddin dengan kerasnya.

Para pelanggan Warung Kopi Aciak Kijun, yang sedang duduk menonton siaran TV film seri India memutar kepalanya menghadap ke jalan negara.

Tampak Bujang Salamaik sedang melangkah menuju halaman Warung Kopi Aciak Kijun.

Ia memakai baju kemeja berwarna merah jingga, bercelana panjang berwarna coklat, berkopiah hitam di kepala, dan bersepatu hitam yang lancip ke depannya.

Orang-orang memandangnya dengan diam.

Beberapa jenak sunyi.

Bujang Salamaik tiba di depan Warung Kopi Aciak Kijun.

“Assalamualaikum,” katanya.

“Waalaikum salam,” jawab sebagian orang.

Bujang Salamaik masuk sambil menyalami orang-orang yang duduk di samping kiri dan kanan ruang masuk warung.

Selesai bersalaman, Bujang Salamaik menghadap ke palanta sebelah barat, lalu memberi salam dengan kedua telapak tangan di dada.

Mereka membalasnya dengan cara yang sama.

Setelah menerima balasannya, Bujang Salamaik duduk di ujung palanta sebelah timur dekat etalase.

“Minum Jang?” tanya Aciak Kijun.

“Ya. Kopi gatek…”

“Gatek?”

“Ya.”

“Apa itu gatek?”

“Galeh ketek!”

“E kalera!” tukas Aciak Kijun lalu melangkah ke dapur.

Bujang Salamaik mengeluarkan sebungkus rokok dari saku baju sebelah kirinya.

Setelah mengambilnya sebatang, ia letakkan di atas etalase.

“Rokok Jo, Jo, ” kata Bujang Salamaik berbasa-basi kepada orang-orang yang duduk di depan dan di samping kanannya.

Orang-orang pada memandang Bujang Salamaik, lalu

menganggukkan kepala pertanda menerima basa-basinya.

Aciak Kijun muncul dari dapur membawa kopi gelas kecil bertadah piring kecil, lalu meletakkannya di atas etalase di samping Bujang Salamaik.

Bujang Salamaik segera mengacaunya dengan sendoknya.

“Kapan pulang dari rantau, Jang?” tanya Aciak Kijun.

“Kemarin Subuh,” jawab Bujang Salamaik.

Aciak Kijun memperhatikan sekujur tubuh Bujang Salamaik.

“Gagah dan keren Ujang kini!” puji Aciak Kijun.

“Tidak. Cuma sudah kebiasaan. Di kota orang jika bertandang harus tampil parlente…”

“Jang…” tukas seseorang.

Bujang Salamaik melirik ke arah datangnya suara.

“O, Uwan Naro. Ada apa Uwan?” katanya.

“Apa Ujang pulang karena menganggur?”

“Tidak…”

“Apa kerja terakhir Ujang?”

“Sespri…”

“Apa itu?”

“Sekretaris pribadi…”

“Sespri siapa?”

“Anggota DPR RI yang urang awak.”

“Apakah Ujang sarjana?”

“Ya. Sarjana Ilmu Politik program studi Administrasi Negara.”

“Pantaslah Ujang Sespri anggota DPR RI…”

“Kenapa?”

“Karena Ujang sudah tahu banyak-sedikitnya tentang tata pemerintahan.”

Bujang Salamaik mengulum senyumnya.

Tak seorang pun yang bicara.

Beberapa jenak sunyi. (bersambung)

Komentar