Suasana belajar kelas menulis (Foto/Stepanus)
Menjadi penulis dianggap mudah oleh banyak orang, tapi jika dipraktekan, sulit. Gampang-gampang susah, mungkin kata ini tepat disematkan kepada penulis pemula.
Pagi itu, Jumat (28/8), pukul 08:45 WIT, pesan whatsapp masuk dari Musa Abubar, syalom pagi adik. Stepanus Sremere menjawab, pagi juga kakaku. Ada sibuk kah? Kelas menulis jam 10 pagi e, kita jalan sama-sama ke sekret, jawab musa lagi. Siap kk adek tunggu di depan jalan masuk Gereja Siloam, jawab stepanus. Lanjut Musa, siap.
Setelah itu, saya bersiap mengemas barang bawaan yakni laptop beserta casnya, buku, pulpen, dan handphone, semuanya dimasukan kedalam tas. Sebelan jalan, saya berdoa. Setelah itu, motor beat berwarna hitam, putih dan biru milik saya, mulai dibunyikan lalu jalan melewati Bakung CNI Perumnas dua. Persis di jalan masuk Gereja Kristen Injili Siloam Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, berhenti, lalu menunggu, tepatnya dibawah pohon.
Hari itu, langit Waena cerah, panas matahari terasa membakar tubuh, namun tak ada keringat keluar dari badan ketika menunggu, lantaran berada dibawah pohon jambu yang cukup rimbun. Angin sepoi-sepoi datang dari segala penjuru menyegarkan tubuh, sejuk, suasana serasa di hutan rimba.
Lima belas menit kemudian setelah menunggu, Musa berada di depanku. Motor Beat warna Orens yang ditungganginya berkilau, sepertinya baru habis dicuci.
“Adoh maaf ade, sudah tunggu lama kah? Kaka terlambat ini, kakak kepala agak pusing jadi?,” katanya sambil menurunkan helm bermerk KYT warna hitam itu dari kepalanya.
Tidak papa, santai saja kakak, jawab saya sambil tersenyum, sembari memakai helm yang sama merknya, KYT berwarna merah. Kami langsung melanjutkan perjalanan dengan menggunakan motor beat orens dan beat hitam putih, biru.
Jalan yang dilalui ke Abepura yaitu jalan SPG Waena. Mungkin karena masih pagi, kendaraan sepi. Memang ramai, tapi tidak sepadat siang hari. Hampir diujung jalan, kami belok kanan, melewati jalan masuk persis di samping Asrama Timika.
Jalan itu, keluar ke jalan raya, tepat disamping Meta Star, salah satu hotel berbintang di Waena. Jalan raya itu bernama Sentani-Abepura. Cukup ramai, padat, berebutan, lantaran ruas jalan sempit. Selain itu, satu-satunya jalan yang menghubungkan antara Waena dan Abepura.
Waena adalah salah satu Kelurahan di Distrik Heram, Kota Jayapura. Dua motor yang kami tumpangi berhenti di lampu merah Jalan SPG. Cukup lama. Kiri-kanan kami, banyak kendaraan. Bagian kiri rata-rata didominasi kendaraan roda dua dan roda empat yakni truk, antre.
Sebelah kiri kami, mayoritas kendaraan roda dua. Tak sabar menunggu, sebagian kendaraan sudah maju lebih dahulu di depan kami, seakan menerobos lampu merah. Lampu hijau menyala, kendaraan ibarat sarang semut yang dibongkar, masing-masing pengendara langsung berebutan menuju Abepura.
Sepanjang jalan Sentani-Abepura, banyak kendaraan. Tepat di Padang Bulan, ada yang aneh. Padang Bulan adalah satu tempat di Kelurahan Hedam, Distrik Heram. Dua kendaraan yang kami tunggangi berhenti di pinggir trotoar, persis di depan Komando Resor Militer 172/PWY (Korem).
Trotoar persis di depan Korem, alih fungsi, jadi terminal parkir sementara. Sejumlah kendaraan roda dua terparkir di atas trotoar. Dominan motor mio, beat, vario 110, vino. Kurang lebih sekitar 30 kendaraan.
Saya sempat berfikir, turunnya nanti bagaimana? Lalu Musa mengatakan, trotoar itu sebenarnya dipakai untuk pejalan kaki, kenapa sampai harus ada parkiran di atas? Foto boleh, bagus.
Saat berhenti, sebenarnya kami berniat untuk memotret situasi itu, hanya saja kondisi tidak memungkinkan. Nyaris, tiga menit kami berhenti. Setelah mengamati motor-motor itu, perjalanan kembali dilanjutkan. Masih melewati Jalan Abepura-Sentani.
Dua kendaraan itu menghantar kami berdua masuk ke jalan menuju Kotaraja. Kotaraja adalah salah satu nama lokasi di Distrik Abepura. Pagi itu, jalan ke arah Kotaraja, longgar, tak padat kendaraan, mungkin karena jarum jam persis berada di angka 12, siang hari. Padahal, jalan itu sering macet, lantaran satu-satunya jalan yang menghubungkan antara Abepura dengan pusat kota Jayapura.
Ketika dua motor yang kami tumpangi membawa kami sampai di lampu merah, tepatnya di depan Brimob Kotaraja, lampu hijau, akhirnya tak sempat berhenti. Di depan kami, ada batas jalan yang disiapkan untuk kendaraan berputar, kami memutar motor disitu berbalik ke arah Abepura. Putaran itu berada dekat Hotel Horison Kotaraja, satu-satunya hotel termegah di wilayah ini.
Sewaktu berputar, kecepatan motor tinggi, jarum speedometer bergerak ke angka 20 meter. Ditengah perjalanan, ada jalan masuk berada sebelah kiri. Jalan itu keluar hingga ke jalan Gerilyawan Abepura, sebagian jalan raya di Abepura. Separuh jalan ini tembus ke lokasi melati Kotaraja. Motor yang kami tumpangi bergerak perlahan persis di depan Kantor PLN. Kantor Perusahaan Listrik Negara itu lebih dikenal dengan sebutan warga, PLN jalan baru.
Dua motor milik kami, berhenti. Perut terasa lapar, ada salah satu warung di dekat kawasan ini. Kami pun masuk di warung itu, rupanya nasi diambil sendiri dari dalam tempatnya. Lauk pauk juga demikian. Mungkin karena nasi dan lauk diambil sendiri, jadi warung ini ramai pembeli. Harga satu piring nasi beserta lauk Rp 15 ribu.
Setelah mengambil makanan, kami menempati kursi dan meja makan paling belakang, persis disebelahi kiri. Didepani kami, ada dua orang, satu lelaki beserta temannya, perempuan. Satu lelaki lagi disebelahi kanan kami. Siang itu, warung tak ramai pembeli. Tak menghiraukan mereka yang ada disamping kiri-kanan, Musa mengajak berdoa sebelum makan. Setelah berdoa, kami menyantap makanan.
“Ade, materi kelas menulis sudah selesai, hari ini adalah praktek menulis tulisan panjang/artikel, sehingga ceritakan perjalanan awal kita dari Waena Perumnas II, lewat mana, apa yang dilihat, singgah dimana, makan dimana, dan terakhir tujuan perjalanan kita apa?,”kata Musa sambil mengunyah makanan.
Musa juga menyampaikan, kalau ia kurang enak badan (sakit), sehingga belum menyelesaikan berita yang saya kirim pada Minggu (23/8). Meski sakit, sementara sedang menulis profil salah seorang Anggota Dewan yang sebelumnya menjabat kepala desa selama 23 tahun di Yakonde, salah satu kampung di Kabupaten Jayapura.
Cerita Musa enak didengar ditelinga, lantaran menyindir tulisan profil megenai salah satu wakil rakyat yang lama menjabat di pemerintahan paling bawah ini. Kisah ini seolah-seolah menghibur santapan siang itu. Ikan dan sayur bercampur nasi dilengkapi dengan air es menyegarkan tenggorokan. Rasa lapar hilang. Keringat yang sempat keluar dari badan juga lenyap, akibat minuman air bercampur es batu.
Saya juga menceritakan rencana peliputan Ketua Klasis GKI Sentani pada Minggu (7/9). “Kaka, saya rencana meliput kegiatan pelantikan ketua klasis GKI Sentani antar waktu, Minggu nanti, tempatnya belum tau, tapi nanti saya cek lagi,” kata saya kepada Musa diatas meja makan.
Pelita Papua
Setelah melahap habis makanan di piring, masih disela-sela cerita saya, Musa mengambil obat lalu minum lantaran sakit. Diujung cerita, kami meninggalkan warung, perjalanan dilanjutkan. Perjalanan masih melalui jalan yang sama, sampai dipertengahan, kami mengambil jalan pintas menelusuri pinggiran Kali Acai hingga didepan GKI Marampa, belok kiri hingga keluar ke jalan garuda BTN Abepura. Warga menyebut tempat ini, BTN Kamkey-Tanah Hitam.
Sesampai di jalan garuda, kami menyebrang jalan, melalui jalan naik ke BTN atas Kamkey. Sedikit mendaki lantaran berbukit. Setelah jalan panjang melewati ganasnya sinar matahari, dan menghirup debu jalanan, tepat pukul 10.57 WIT, kami berdua tiba di Sekretariat Pelita Papua.
Alamat sekretariat itu di Blok D nomor 17. Tempat ini yang menjadi tujuan kami datang dari Waena. Pelita Papua adalah kepanjangan dari Perkumpulan Lintas Mahasiswa dan Alumni Kristen di wilayah paling timur ini. Wadah ini pergerakannya lebih pada pelayanan dan penginjilan. Kegiatan pengembangan diri juga masuk program organisasi yang dibentuk pemuda kristen ini.
Perjuangan dari Waena, Abepura hingga Kotaraja dan berbalik lagi ke Abepura, menuju ke Sekretariat Pelita Papua, hanya untuk belajar menulis. Kelas menulis di Pelita, dalam seminggu, setiap Selasa dan Jumat, kurang lebih kelas itu sudah berjalan selama dua bulan. Sudah tiga kelas.
Musa Abubar sementara sedang mengajar menggunakan kertas pengganti papan tulis (Foto/Stepanus)
Sudah dari dulu, saya niat untuk menulis, sehingga saya mengambil keputusan untuk mengikuti kelas ini. Kerinduan saya terpenuhi disini. Kelas ini menjadi salah satu program yang gencar dilakukan oleh Bidang Humas Pelita. Tujuannya hanya satu, megembangkan pemuda gereja dan mahasiswa yang berkenginan untuk menulis.
Materi yang diajarkan yaitu dasar-dasar menulis berita meliputi rumus 5W dan satu H, pemberian judul, mengenal lead, teknik wawancara, teknik menulis berita, penulisan berita pendek, lalu dilanjutkan dengan penulisan artikel. Musa Abubar yang menemani perjalanan saya separuh hari itu, ternyata pemateri kelas ini.
Saban hari, ia bekerja sebagai koresponden di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA. Sebelum di ANTARA, sempat melalang buana di media lokal, kurang lebih sekitar lima tahun di tabloidjubi.com.
Musa mengatakan, melalui tulisan kita menginformasikan segala sesuatu, tentang fakta, data terkait peristiwa termasuk padangan terhadap pembangunan, pembaca dapat memperoleh pengetahuan serta pemahaman baru mengenai berbagai hal. Menulis itu penting, sebab tulisan dapat mendidik, mencerdaskan dan membimbing orang, baik intelektualnya, emosionalnya dan spiritualnya.
John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat pernah mengatakan jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!
Dengan menulis, secara tidak langsung berkontribusi membangun bangsa dan tanah Papua. Menulis juga mewartakan, menyuarakan kebenaran ditanah ini, tidak dengan cara-cara arogan lantaran kurang etis. Lebih baik memperjuangkan suara akar rumput dengan goresan mata pena. (Stepanus Sremere).
Komentar