Tinta Rakyat – “Itu Bujang Salamaik!” ujar Ajo Kenek dengan suara basnya.
“Ya!” tukas Yuang Kubu pula.
Sepeda Bujang Salamaik memasuki halaman Warung Kopi Aciak Kijun, kemudian berhenti di depan terasnya.
Setelah memarkirnya, ia melangkah memasuki Warung Kopi Aciak Kijun.
Orang-orang melihatnya dengan bengong.
Soalnya, penampilannya lebih parlente.
Sepatunya merek Salerno yang disemir mengkilat.
Rompi bajunya berwarna merah-kuning-hitam dengan latar belakang rumah adat bergonjong lima tersorong terbalik di dadanya.
“Assalamulaikum!” kata Bujang Salamaik.
“Walaikumsalam!” jawab sebagian banyak orang.
Bujang Salamaik duduk di tempat biasanya ia duduk.
“Keren benar penampilan Ujang,” ujar Aciak Kijun.
Bujang Salamaik mengulum senyumnya.
“Minum Jang?” kata Aciak Kijun lagi bertanya.
“Ya, kopi galeh ketek.”
Aciak Kijun berbalik lalu melangkah menuju dapur.
“Jang,” tukas seseorang dengan suara basnya.
Bujang Salamaik melirik pemilik suara.
“O, Jo Nek. Apa Jo?”
“Sudah lima malam Ujang tidak duduk di palanta ini?”
“Ya.”
“Ke mana dan mengapa saja Ujang?”
“Bersepeda bersosialisasi ke lima korong lainnya.”
“O begitu?”
“Ya.”
“Malam ini tadi, Ujang bersosialisasi di mana?”
“Bukan bersosialisasi…”
“Apa?”
“Berkonsultasi…”
“Berkonsultasi?”
“Ya.”
“Dengan siapa?”
“Dengan Pak Wali Nagari Induk Lubuk Beralung…”
“Apa yang Ujang konsultasikan?”
“Bagaimana setrategi atau kiat dan siasat atau cara beliau sehingga menang Pilwana Nagari Induk Lubuk Beralung? Balau ceritakan semuanya.”
“Kalau boleh kami tahu, ceritakanlah. Ya Jo Kubu?
Kata Ajo Kenek sambil memukul meja di depan Yuang Kubu.
Yuang Kubu yang matanya mulai terpejam tersentak.
“Fuddin, ang jangan terlalu berlantas angan ke den!”
“Bukan ambo.”
“Siapa?”
“Jo Nek!”
“O, Jo Nek. Apa Jo?”
“Sebagai tim sukses, Yuang Kubu tentu ingin tahu hasil konsultasi Ujang dengan Wali Nagari Induk Lubuk Beralung. Ya?”
“Iyalah.”
“Saya juga. Bagaimana dengan Jo Din?”
“Iya jugalah.”
“Pelanggan warung yang lainnya, iya juga?”
“Iya jugalah!” jawab sebagian banyak orang-orang yang duduk di Warung Kopi Aciak Kijun.
“Baik. Jang…”
“Ya Jo Nek.”
“Ungkapkanlah hasil konsultasi Ujang dengan Wali Nagari Induk Lubuk Beralung itu!”
Bujang Salamaik menarik napas beberapa jenak.
Orang-orang yang duduk di Warung Kopi Aciak Kijun menunggu dengan diam.
“Supaya plong saya ungkapkan hasil konsultasi dengan menjawab pertanyaan…”
“Baik. Saya moderatornya. Kita mulai dengan Jo Din. Silahkan!”
“Apakah balau menang Pilwana karena membeli suara?”
“Tidak!”
“Kok tidak?”
“Balau menggunakan pendekatan adat dan agama dengan merangkul datuak penghulu beserta tokoh fungsional adat dan agama sebagai tim sukses guna meraih dukungan suara dari sanak-kemenakan yang sesuku atau sekaum!”
“Tak masuk akal karena seorang datuak penghulu suku wajib membina seluruh sanak-kemenakan walaupun bukan sesuku atau sekaum dengannya.”
“Balau pemain di belakang gawang…”
“Jadi ada pemain di depan gawangnya?”
“Ya!”
“Siapa?”
“Tuo korong dan labai korong…”
“Apa dasarnya?”
“Tuo korong bertugas mengurus alek baik…”
“Lalu?”
“Kalau ia datang ke rumah sanak-kemenakannya atau warga korong, tidak ada orang yang curiga walau ia berbisik dan memberikan kartu nama calon Wali Nagari yang akan dipilih sesuai perintah penghulu atau mamak adat.”
“Bagaimana kalau mereka tidak patuh?”
“Mereka diberi sangsi adat…”
“Apa sangsi adatnya?”
“Urus sendiri alek baiknya!”
“O, begitu. Kalau labai korong, bagaimana?”
“Ia bertugas mengurus alek buruak…”
“Lalu?”
“Sama halnya dengan tuo korong, kalau ia datang ke rumah sanak-kemenakan atau warga, tidak ada orang yang curiga walau ia berbisik dan memberikan kartu nama calon Wali Nagari yang akan dipilih sesuai perintah mamak syarak.”
“Kalau mereka tidak patuh, bagaimana?”
“Mamak syarak memberi mereka sangsi agama. Urus sendiri alek buruak!”
“Kalau begitu, mereka terpaksa memilih!”
“Bukan terpaksa tetapi itu perintah turun-menurun. Sesuai ajaran adat bahwa kemenakan seperintah mamak, baik mamak sebagai penghulu suku maupun mamak sebagai kepala waris.”
Orang-orang lainnya yang duduk di Warung Kopi Aciak Kijun saling berpandangan.
Beberapa jenak sunyi.
“Masih ada pertanyaan?” tukas sekaligus tanya Ajo Kenek.
Ajo Karanggo seketika mengangkat tangannya.
“Silahkan, langsung saja ke intinya.”
“Nagari kita Punggung Berpasir jumlah korongnya enam. Apa mungkin tuo dan labai keenam korong dapat dirangkul oleh seorang calon Wali Nagari?”
“Mungkin!” jawab Bujang Salamaik.
“Bagaimana caranya?” tukas sekaligus tanya Yuang Kubu.
Bujang Salamaik melirik Ajo Kenek.
Ajo Kenek memberi kode dengan menggerakkan telapak tangan kanannya ke depan.
Bujang Salamaik menarik napasnya beberapa jenak.
“Apa Jang?” desak Yuang Kubu.
“Kata Pak Wali Nagari Induk Lubuk Beralung, diadakan pertemuan dengan pengurus dan anggota Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari atau BMASN…”
“Di mana?” tukas sekaligus tanya Ajo Fuddin.
“Di Balai Adat dan Syarak Nagari…”
“Siapa pengundangnya?”
“Ketua BMASN Lubuk Beralung!”
“Hadir seluruh tuo korong dan labai korong?”
“Kata Pak Wali Nagari Induk Lubuk Beralung, hadir.”
“Kenapa?”
“Mereka perpanjangan mamak adat dan mamak syarak!”
“Apa yang disampaikan balau?”
“Kata balau, seandainya telah ditetapkan sebagai calon Wali Nagari, mohon melalui ketua BMASN mak datuak-mak datuak beserta sanak-kemenakan memilihnya pada waktu Pilwana Lubuk Beralung.”
“Apa jawab mereka?”
“Setelah yang hadir berbisik-bisik ke kiri dan ke kanan, ketua BMASN menjawab insya-Allah…”
“O, jika Tuhan yang Mahaesa mengizinkan!”
“Ya.”
“Bagaimana caranya?”
“Kata Pak Wali Nagari Induk Lubuk Beralung, tuo korong dan labai korong, diperintahkan untuk mendatangi kaumnya dalam korong termasuk warga pendatang dalam korong yang punya hak pilih…”
“Maksudnya, di korong itu ada Perumnas yang dihuni pendatang?”
“Ya.”
“Lalu?”
“Menyerahkan kartu nama calon Wali Nagari yang akan dipilih di Pilwana nanti dengan tulus dan ikhlas!”
“Maksudnya dengan sukarela tanpa imbalan uang sepeserpun?”
“Ya. Tetapi disediakan Becak untuk membawanya ke TPS dan pulang kembali ke rumah!”
“Jika sudah jadi calon, apakah Ujang akan memakai cara balau untuk memenangkan Pilwana Punggung Berpasir?”
“Ya, tetapi setelah dimodifikasi!”
Bujang Salamaik menarik napasnya.
Orang-orang memandangnya dengan diam.
Beberapa jenak sunyi.
“Masih ada pertanyaan atau tanggapan?” kata Ajo Kenek memecahkan kebuntuan.
Tak seorang pun yang berbicara.
Semuanya, termasuk Bujang Salamaik, pada diam.
“Baik. Kita akhiri pemantapan dukungan untuk Ujang ini. Selamat Malam!” kata Ajo Kenek.
“Selamat malam!” jawab sebagian banyak orang yang hadir di Warung Kopi Aciak Kijun.
Maka satu-persatu pelanggan Warung Kopi Aciak Kijun – termasuk Bujang Salamaik – meninggalkan Warung Kopi Aciak Kijun. (bersambung)
Komentar