Jakarta, Tinta Rakyat – Saat ini, Indonesia berada di peringkat tiga negara paling berisiko dari perubahan iklim, setelah India dan Nigeria. Sebagaimana disorot dalam laporan The Asian Development Bank (ADB) dan jurnal Nature Sustainability (2023). Ancaman banjir, kekeringan panjang, kenaikan air laut, dan kebakaran hutan yang kian intens dapat membuat biaya kerusakan terkait iklim di negara berkembang melonjak dari US$116–435 miliar (2020) hingga US$1–1,8 triliun pertengahan abad ini. Ironisnya, dari total US$10 pendanaan iklim global, hanya US$1 yang mengalir ke tingkat lokal. Hal ini membuat kebutuhan akan mobilisasi pendanaan yang adil bagi daerah dan kelompok rentan kian mendesak.
Berada di titik kritis dari krisis iklim global, Indonesia sebagai salah satu negara yang paling rentan terdampak perubahan iklim memanggil para pemangku kebijakan, pemimpin komunitas, dan pelaku perubahan dari berbagai daerah untuk berdialog dan merumuskan langkah nyata. Acara yang berlangsung di Artotel Thamrin, Jakarta, dengan topik “Suara untuk Aksi Iklim yang Berkeadilan” diselenggarakan oleh aliansi Voices for Just Climate Action (VCA) pada 26 Juni 2025 lalu, mempertemukan berbagai pihak guna menjembatani kesenjangan dalam mobilisasi dan implementasi pendanaan iklim bagi kelompok yang paling terdampak. Sebagaimana siaran pers yang disampaikan oleh Ramadhaniati, kontak person LP2M (Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat) Sumbar untuk C4ledger kepada media ini, pada Senin (30/6/2025).
Dikatakan, acara tersebut menghadirkan para pembicara dari berbagai daerah dan latar belakang, mulai dari perwakilan komunitas Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, hingga perwakilan Federasi Perempuan dan koalisi-koalisi dibawah naungan VCA Indonesia. Seperti Koalisi Kelompok Orang Muda Untuk Perubahaan Iklim (Koalisi KOPI), Koalisi ADAPTASI, Koalisi Pangan Baik, Koalisi Sipil, serta Konsorsium C4Ledger, aliansi pengelola pengetahuan yang dikoordinasikan oleh KONSEPSI NTB.
Mereka berbagi pengalaman terkait hambatan dan peluang pelibatan komunitas dalam pengambilan keputusan, terkait pendanaan dan kebijakan iklim. Mereka juga memaparkan, contoh-contoh aksi nyata yang telah dilakukan bersama masyarakat. Mulai dari sistem energi terdesentralisasi dan pertanian cerdas iklim, hingga praktik pelestarian ekosistem adat dan pengelolaan sampah berbasis komunitas.
Dalam kesempatan itu, David Rahawarin, Community Development Officer untuk WWF Tanah Papua mengatakan, pelibatan komunitas yang terdampak, merupakan salah satu langkah penting yang harus diambil dan diperhatikan oleh para pemangku kebijakan.
“Menurut kami, bentuk ideal pelibatan komunitas adalah pelibatan yang setara, berkelanjutan, dan berbasis hak, yang berarti komunitas dilibatkan sejak tahap perencanaan, implementasi hingga monitoring dan evaluasi, ada pengakuan atas hak atas tanah, wilayah, dan budaya mereka. Dan proses pelibatan tersebut, harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan konteks lokal, bukan sekadar formalitas. Pelibatan yang ideal bukan hanya soal hadir di meja diskusi, tapi soal siapa yang menentukan arah kebijakan.” jelasnya.
Selain itu, pelibatan komunitas juga perlu disesuaikan dengan cara yang cocok dan sesuai dengan konteks. Seperti yang dikatakan oleh Magdalena Oa Eda Tukan, Ketua Komite Eksekutif Flobamoratas Koalisi KOPI dalam diskusi tersebut.
“Kami mengajak generasi muda untuk gerakan aksi iklim, perlu dilakukan dengan cara yang kreatif. Kami memiliki prinsip yaitu kemurnian niat, imajinasi yang luas, lakukan dengan riang gembira, dan buat teman kita hebat. Hal ini dilakukan, untuk mendorong gerakan aksi iklim yang lebih luas untuk orang muda,” kata Magdalena.
Pada Dialog Publik ini, hadir pula para perwakilan dari Kementerian terkait, termasuk Badan Pangan Nasional, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup, serta Direktorat Adaptasi Kementerian Lingkungan Hidup, yang juga berdialog bersama para perwakilan masyarakat adat dan Organisasi Masyarakat Sipil guna membahas sinergi antar kementerian dan pelibatan komunitas yang bermakna dalam proses adaptasi perubahan iklim. Mereka juga menjajaki langkah mempercepat pengakuan dan perlindungan wilayah adat, serta mendorong sistem pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan lestari.
Sementara itu, Arti Indallah Tjakranegara, penanggung jawab VCA Indonesia, Yayasan Humanis mengatakan, Aliansi VCA di Indonesia yang terdiri dari Slum Dwellers International bersama SPEAK Indonesia, South South North bersama konsorsium C4Ledger, WWF, dan Yayasan Humanis bersama para mitra lokal, telah aktif bekerja di berbagai daerah termasuk DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Selatan, Papua Barat, dan Papua Barat Daya. Selama empat tahun pelaksanaan program, hingga fase akhir di tahun 2025 ini. Berbagai pembelajaran dan contoh praktik baik telah dikumpulkan untuk didokumentasikan, diakui, dan direplikasi sebagai bentuk kerja bersama dalam memperluas ruang bagi suara masyarakat sipil dan komunitas marginal.
“Isu perubahan iklim bukan hanya soal angka dan proyeksi, tetapi soal nasib dan masa depan banyak komunitas yang paling terdampak. Mereka yang sehari-hari merasakan perubahan pola cuaca membutuhkan dukungan nyata dari tingkat kebijakan hingga pelaksanaan di lapangan. Aliansi VCA selalu percaya bahwa mekanisme pendanaan iklim harus menjadikan kebutuhan komunitas sebagai titik tolak, bukan titik akhir,” ujar Arti.
Dikatakan, diskusi publik ini juga telah memberi ruang bagi berbagai rekomendasi konkrit, terkait mobilisasi pendanaan, penguatan kerja sama antar pihak, dan pengakuan penuh atas peran dan pengetahuan lokal sebagai pilar adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
“Dalam kesempatan ini, kami menekankan, bahwa keberhasilan Indonesia menghadapi krisis iklim, tidak dapat dicapai tanpa kolaborasi yang inklusif dan adil. Yakni, mulai dari tingkat komunitas hingga tingkat nasional dan global,” tutupnya. (Rel/AS)
Komentar