Senjata Ketika Perang Melawan COVID-19

Perang merupakan peristiwa yang paling ditakutkan oleh penduduk di negara mana saja. Karena disaat itu, harta benda dan nyawa tidak berharga sama sekali. Bayangkan jika seandainya kita sedang dalam perang bersenjata melawan musuh entah dari negara mana, lalu tentara musuh itu sudah menduduki wilayah kita.

Saya yakin, kita semua akan berdiam di rumah atau bahkan mungkin dalam bunker atau ruang persembunyian khusus, karena takut kena peluru nyasar atau ledakan bom. Kita akan sukarela mengisolasi diri di dalam rumah kita, karena kita sadar betul bahaya yang kita hadapi yaitu peluru atau bom!

Bagaimana jika musuhnya tidak terlihat seperti Covid-19? Jangan salah, dahsyatnya sama seperti perang. Saat ini, manusia di dunia yang sudah positif terkena wabah ini adalah sebanyak 3.442.234 jiwa yang tersebar di 215 negara. Jumlah yang meninggal sebanyak 239.740 orang.

Sementara itu, di Indonesia jumlah yang sudah positif terkena adalah 12.071 orang dan yang meninggal 872 orang. Kalau kita melihat Provinsi Sumatera Barat, terkonfirmasi positif sebanyak 221 orang dan meninggal dunia berjumlah 16 orang. Sedangkan di kabupaten Padang Pariaman sampai saat ini, sebanyak 5 orang yang positif dan 1 orang meninggal dunia. Memang sangat fantastis dan grafiknya terus meningkat.

Namun ada yang meragukan angka itu, katanya lebih besar daripada jumlah itu. Ya bisa jadi, tetapi kita tidak sedang memperdebatkan angka-angka tersebut.

Saya ingin menyampaikan bahwa, bahaya yang kita hadapi ini nyata senyata-nyatanya. Memang musuh kita kali ini tidak nyata untuk mata orang awam, yaitu virus yang sangat mikro ukurannya. Tetapi jangan tanya daya mematikannya. Dahsyat..!

Musuh yang satu ini sama sekali tidak membedakan perempuan ataupun anak-anak, semua dihajar jika ketemu. Dia juga tak mengenal konsep hak asasi manusia atau HAM, sehingga mengurungkan niatnya untuk membunuh.

Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), termasuk larangan perpindahan penduduk antar wilayah (seperti mudik) adalah upaya kita untuk perang melawan musuh yang bernama Covid-19 ini.

Kalau begitu, pemerintah menerapkan PSBB serta larangan mudik itu sebenarnya untuk siapa? Apakah untuk pemerintah? Apakah untuk mengekang masyarakat? Apakah pemerintah sedang membuat susah masyarakat? Tidak! Semua untuk kita, para warga negara, supaya tidak terkena musuh yang mematikan itu.

Ketika perang bersenjata yang penuh desingan peluru atau ledakan bom, kita tidak peduli soal pasar buka atau tidak, lapangan kerja masih ada atau tidak, yang penting kita selamat dulu, yang penting nyawa masih ada. Kita rela membatasi diri semaksimal mungkin demi keselamatan kita.

Nah, bagaimana menghadapi si Covid-19 yang tak kalah ganas ini? Kita juga sedang berperang lho. Ancamannya nyata dan sudah banyak yang meninggal karenanya. Di Italia, pernah angka kematian mencapai 919 jiwa perhari, yaitu tanggal 27 Maret 2020. Hanya karena penduduknya tidak mematuhi PSBB versi mereka. Total angka kematian di Italia adalah 29,079 jiwa.

Jadi, PSBB atau larangan mudik bukanlah ulah pemerintah untuk mempersulit rakyat, sama sekali bukan. Itu adalah upaya memutus rantai penyebaran covid-19, supaya rakyat tidak mengalami kematian sia-sia karena serangan virus ini.

Para dokter, perawat, dan semua tenaga kesehatan, serta para relawan kita sedang bertempur dengan heroik di garis depan, melawan musuh dahsyat ini. Bahkan, sudah banyak diantara mereka yang gugur sebagai pahlawan dalam peperangan ini.

Kita pun dapat memainkan peran dalam peperangan ini. Caranya? Simpel saja, patuhi PSBB, larangan mudik atau perpindahan antar wilayah, pakai masker, jaga jarak dan sebagainya.

Dengan demikian kita sudah ikut serta mengurangi,bahkan memotong jalur peredaran musuh kita yang bernama Covid-19 itu.

Pada saat perang, secara spontan biasanya kesetiakawanan sosial akan tumbuh, saling membantu antar kita. Nah, apalagi jika ada bantuan sosial atau social safety net dari pemerintah.

Covid-19 tidak ada kaitannya dengan politik. Pemerintah juga belum tentu benar semua, pasti ada kelirunya juga. Kita memang tidak boleh kehilangan daya kritis. Namun, kali ini patuhilah pemerintah dengan melaksanakan PSBB dan tidak mudik atau berpindah antar wilayah, demi nyawa kita semua. Kita pun belum tentu paham apa yang terjadi sesungguhnya dalam peperangan ini, kalau tidak punya ilmunya.

Tuhan menganugrahkan akal kepada manusia, supaya dapat digunakan untuk berpikir. Itulah sebabnya, Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak berupaya untuk mengubah nasibnya terlebih dahulu.

Indonesia tidak menerapkan lockdown, seperti di beberapa negara lain. Indonesia hanya menerapkan pembatasan sosial, yang berarti masih ada keleluasaan yang diberikan kepada masyarakat, namun dengan mematuhi berbagai protokol yang diberikan pemerintah.

Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dianugrahkan Tuhan, manusia sanggup menghidupkan kembali ekonomi yang terpuruk. Namun sampai saat ini, manusia tidak sanggup menghidupkan kembali nyawa yang sudah hilang.

Akhirnya, jika semua ikhtiar dan daya upaya sudah dilakukan, semua kita kembalikan kepada Allah SWT Sang Pemilik Alam Semesta, karena Dia maha tahu apa yang terbaik untuk kita.

Artinya, selamat dari perang namun mati kelaparan.

(Anesa Satria, SH.MM.)

Komentar