Menyikapi SKB 3 Menteri dengan Baik.

Oleh : Khairul Anwar Koto, SH.MTr (Han). *)

0 69

Tinta Rakyat – Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan – Menteri Dalam Negeri – Menteri Agama) yang berisikan aturan dalam mengatur sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dan soal penggunaan seragam sekolah beratribut agama, sungguh telah menuai polemik ditengah masyarakat Minangkabau dan juga nasional.

Ketika ditelisik isinya, tampak tidak ada yang salah dari SKB 3 Menteri tersebut. Namun, sentimen agama pada akhirnya tidak bisa dihindari.

Intinya, salah satu dari 6 point SKB 3 Menteri ini, seakan memberikan kebebasan kepada anak didik/murid dan pendidik untuk memilih atribut yang ia sukai. Ingin memakai seragam dan atribut kekhususan agama atau tidak.

Namun, yang membuat masyarakat Sumatera Barat atau orang Minangkabau ‘berang’ dari SKB tersebut adalah, Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan, menghimbau ataupun melarang penggunaan seragam dan atribut sekolah dengan kekhususan agama.

Jelas sekali, ketika orang Minangkabau menjunjung tinggi dan mengimplementasikan falsafah Adaik Basandikan Syara’, Syara’ Basandikan Kitabullah (ABS-SBK) dalam kehidupan sehari-hari serta adaptasi sosial dan budaya. Tentu akan merasa tersinggung, ketika dikatakan ‘tidak boleh’ mewajibkan seragam yang ber atributkan agama.

Jauh hari, Pemerintah di Sumatera Barat, diantaranya Pemerintah Kota Padang dimasa kepemimpinan H. Fauzi Bahar. Dia sangat bersemangat dan bangga membuat Peraturan ataupun Instruksi tentang pemakaian jilbab, termasuk menggalakkan mengamalkan bacaan Asmaul Husna di tengah masyarakatnya.

Orang Minangkabau bukan tidak toleransi, tapi mengapa mereka dilarang mengekspresikan keyakinan mereka, yang jelas sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dari sinilah ketersinggungan terhadap Keputusan Bersama 3 Menteri itu dimulai.

Belum lagi secara nyata dan tidak terbantahkan, SKB 3 Menteri muncul ketika adanya kasus di salah satu SMK Negeri di Kota Padang. Hanya satu kasus saja dan itu pun masih perlu pendalaman lanjut, tentang tuduhan intoleransi terhadap salah seorang siswi yang mengaku dipaksa memakai seragam agama (Islam).

Hanya saja, karena terlanjur viral di media sosial dan disikapi serius oleh 3 Menteri Republik Indonesia, sehingga lahir lah aturan tentang penggunaan seragam sekolah ini.

Dalam hal ini, Pemerintah Pusat tidak salah. Hanya saja SKB 3 Menteri tersebut, perlu pertimbangan dan pembahasan yang komprehensif. Diperlukan data dan informasi akurat, dengan mengundang seluruh elemen tenaga pendidikan dan pendidik terkait.

Bila dirasakan perlu, maka untuk menyikapi SKB 3 Menteri tersebut setiap Pemerintah Daerah dibolehkan membuat Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) untuk merealisasikan, sesuai dengan kearifan lokal dan kondisi Daerah masing-masing.

Jadi, jelaslah bahwa soal SKB 3 Menteri ini, bukan soal saling salah-menyalahkan atau soal salah dan benar. Akan tetapi, ternyata hanya soal menyamakan persepsi. Sehingga, suatu kebijakan itu menjadi satu tujuan pendidikan. Agar anak bangsa cerdas, terampil, berakhlak dan menjadi warga negara yang baik dengan berasaskan Pancasila dan UUD 1945. (**)

*) Tokoh Masyarakat Minang dan Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya.

(**) Telah diterbitkan pada harian Persada Post edisi Jumat (19/2)

Slider Ads

20220426_150049
IMG-20231026-WA0031
IMG-20231026-WA0032
20220426_150049 IMG-20231026-WA0031 IMG-20231026-WA0032

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More