Tintarakyat.com, Kabupaten Cirebon – Kencangnya pemberitaan persoalan kekeliruan dalam pengelolaan Pendapatan Asli Desa (PADesa) di Kabupaten Cirebon semakin di sorot tajam, dan menjadi cikal-bakal babak baru setelah adanya M.o.U antara Kejaksaan Negri Kabupaten Cirebon dengan Para Kuwu di Kabupaten Cirebon yang sponsori atau di fasilitasi fasilitasi Bupati Imron
Rabu, 12 Juli 2023 adanya kegiatan perjanjian kerjasama antara Pemerintah Desa Se Kabupaten Cirebon dengan Kejaksaan Negri Kabupaten Cirebon Tentang Penanganan Permasalahan Hukum Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yang di selenggarakan di gedung Nyi Mas Ganda Sari Pemkab Cirebon yang di hadiri beberapa para kuwu menjadi perhatian khusus. Persoalan perjanjian tersebut yang di tandatangani oleh beberapa para kuwu di Kabupaten Cirebon jangan sampai menjadi keliru dalam menerapkan porsi Memorandum of Understanding (M.o.U) tersebut, Karena kondisi tersebut menjadi persoalan atau pertanyaan yang menggurita kepada pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik INDONESIA Pasal 30 ayat (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah, kondisi tersebut menjadi persolan baru dan timbul pro dan kontra dari beberapa elemen serta patut di duga tidak sesuai regulasi yang ada.
Pasalnya Dikutip dari beberapa media online yang berjudul “Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon Teken MoU Dengan Para Kuwu” (https://www.mediahumaspolri.com/kejaksaan-negeri-kabupaten-cirebon-teken-mou-dengan-para-kuwu/)
dan
“Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon Teken MoU Dengan Para Kuwu, Kajari : Kami Siap Hadir.” (https://kontroversinews.com/kejaksaan-negeri-kabupaten-cirebon-teken-mou-dengan-para-kuwu-kajari-kami-siap-hadir.html) seputar tentang desa, hal tersebut mendapat sorotan tajam dan mengundang pertanyaan yang besar oleh masyarakat cirebon.
Penerapan M.o.U tersebut perlu di kaji ulang oleh beberapa Aparat Penegak Hukum (APH), pasalnya M.o.U tersebut lebih spesifik tentang Dana Desa dan seputar Desa bukan tentang Badan Usah Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sehingga mengundang reaksi pertanyaan besar dan perhatian khusus dari beberapa elemen, khususnya yang aktif membidangi praktisi Hukum di kalangan masyarakat Cirebon semakin santer menyoroti dinamika yang ada.
Dikutip dari akun Facebook Kang Imron, “Semoga melalui kerjasama ini, Kuwu menjadi tenang dalam menjalankan tugasnya, sehingga bisa fokus dan dapat melahirkan inovasi-inovasi kebijakan lainnya”, terang status imron pada Rabu, 12 Juli 2023
Imron menambahkan, “Melalui kerjasama ini, Kejaksaan juga menggandeng inspektorat untuk monitoring, berbagai masalah hukum terkait pemerintahan, masyarakat desa dan tata kelola keuangan didampingi dan mendapatkan arahan dari ahlinya”, imbuhnya.
Ditempat terpisah, Ketua Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) Kabupaten Cirebon, Marhendi, SH., MH., angkat bicara persoalan M.o.U tersebut, “Terkait persoalan yang tengah terjadi M.o.U antara Kejaksaan Negri Kabupaten Cirebon dan para kuwu di Kabupaten Cirebon patut kita pertanyakan. Apakah sudah benar hal itu di terapkan, apakah sudah sesuai regulasi yang dimaksud. Situasi, ini akan menjadi PR besar bagi beberapa elemen, tentunya kami selaku putra daerah terhadap demokrasi yang ada di Pemerintahan Kabupaten Cirebon jangan sampai terinfeksi sistem tirani dan keliru. Kondisi ini akan menjadi perhatian khusus yang sangat serius bagi kami putra daerah untuk mengawal jalannya Demokrasi di Pemkab Cirebon agar Cirebon semakin Katon”, terangnya saat dikonfirmasi melalui WhatsApp, Rabu, 12 Juli 2023.
Ketua Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) Kabupaten Cirebon, Marhendi, SH., MH., menambahkan, “Perjanjian Kerjasama tersebut apakah sudah diterapkan dengan benar sesuai regulasi, hal ini harus dijelaskan dengan jelas maksud dan tujuan di balik Perjanjian Kerjasama tersebut agar tidak menjadi persepsi berbeda terhadap masyarakat yang awam hukum. Saya berpesan, kepada pihak terkait agar lebih cermat dan teliti serta kehati-hatian dalam mengambil suatu kebijakan dan keputusan agar tidak timbul gagal faham dan persoalan baru di kemudian hari”, tegasnya Marhendi, SH., MH., yang pernah mejabat sebagai Komisi Informasi Kabupaten Cirebon Pengganti Antar Waktu masa bhakti 2013-2017.
Berikut ulasan yang di kutip dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/tugas-jaksa-dalam-perkara-perdata-dan-tun-lt5b8ac09e79dbb?utm_source=whatsapp&utm_medium=klinik&utm_campaign=shared_sosmed
Sebagai berikut ini:
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”), dijelaskan bahwa pengertian Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sementara itu, Kejaksaan Republik Indonesia (“Kejaksaan”) pada dasarnya adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.[1]
Wewenang lain yang dimaksud, menurut Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan di antaranya adalah:
Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Dalam melaksanakan wewenang dan tugas Jaksa sebagaimana disebutkan di atas, Jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki.[2]
Saluran hierarki yang dimaksud adalah, bahwa Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan, dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda.[3] Di antara Jaksa Agung muda sebagai pembantu pimpinan, terdapat Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara di Kejaksaan, yang dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur di Pasal 23 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia (Perpres 38/2010).
Adapun berdasarkan Pasal 1 Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-018/A/J.A/07/2014 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur pada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (“Perja 18/2014”) disebutkan bahwa Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara terdiri atas:
Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara terdiri atas:
a. Sekretariat Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara;
b. Direktorat Perdata;
c. Direktorat Pemulihan dan Perlindungan Hak; dan
d. Direktorat Tata Usaha Negara;
Kedudukan Jaksa Pengacara Negara Menurut Hukum
Di dalam UU Kejaksaan tidak dapat ditemukan istilah Jaksa Pengacara Negara (“JPN”). Istilah tersebut dapat ditemukan di Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”), yang menyatakan:
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Juga dapat ditemukan dalam Pasal 32 ayat (1) UU 31/1999:
Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Meskipun UU Kejaksaan tak mengenal istilah JPN, bukan berarti maknanya tak bisa ditelusuri. Sebagaimana dikutip dari artikel Bahasa Hukum: Jaksa Pengacara Negara, mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Martin Basiang, dalam tulisannya ‘Tentang Jaksa Selaku Jaksa Pengacara Negara’, berasumsi makna ‘kuasa khusus’ dalam bidang keperdataan sebagaimana tercantum dalam UU Kejaksaan, dengan sendirinya identik dengan pengacara. Istilah pengacara negara, tulis Martin, adalah terjemahan dari landsadvocaten yang dikenal dalam Staatblad 1922 No. 522 tentang Vertegenwoordige (keterwakilan) van den Lande in Rechten.
Pasal 2 Staatblad 1922 No. 522 menyebutkan dalam suatu proses (atau sengketa) yang ditangani secara perdata, bertindak untuk pemerintah sebagai penanggung jawab negara di pengadilan adalah opsir justisi atau jaksa.
Posisi jaksa selaku ‘pengacara’ negara tak lantas membuat seluruh jaksa bisa menjadi JPN. Menurut Martin, sebutan itu ‘hanya kepada jaksa-jaksa yang secara struktural dan fungsional melaksanakan tugas-tugas perdata dan tata usaha negara’. Sebutan ‘pengacara’ dalam Jaksa Pengacara Negara tak bermakna pula bahwa JPN tunduk pada dan diikat Undang-Undang Advokat.
Selanjutnya, penyebutan JPN di Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 34 UU 31/1999 menjadi salah satu dasar hukum tentang penyebutan JPN dan dibenarkan oleh Pasal 40 UU Kejaksaan, yang berbunyi:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kejaksaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Namun menurut hemat kami, pengertian dan tugas JPN di UU 31/1999 terbatas pada ranah Hukum Perdata saja.
Penyebutan JPN ternyata juga dapat dilihat secara rinci dalam huruf C Lampiran Perja 18/2014 yang menjelaskan mengenai 5 tugas jaksa atau dalam hal ini JPN, yaitu:
1. Bantuan Hukum adalah tugas Jaksa Pengacara Negara dalam perkara perdata maupun tata usaha negara untuk mewakili lembaga negara, instansi pemerintah di pusat/daerah, BUMN/BUMD berdasarkan Surat Kuasa Khusus, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat yang dilakukan secara litigasi maupun non litigasi.
2. Pertimbangan Hukum adalah tugas Jaksa Pengacara Negara untuk memberikan pendapat hukum (Legal Opinion/LO) dan/atau pendampingan (Legal Assistance) di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara atas dasar permintaan dari lembaga negara, instansi pemerintah di pusat/daerah, BUMN/BUMD, yang pelaksanaannya berdasarkan Surat Perintah JAM DATUN, KAJATI, KAJARI.
3. Pelayanan Hukum adalah tugas Jaksa Pengacara Negara untuk memberikan penjelasan tentang masalah hukum perdata dan tata usaha negara kepada anggota masyarakat yang meminta.
4. Penegakan Hukum adalah tugas Jaksa Pengacara Negara untuk mengajukan gugatan atau permohonan kepada pengadilan di bidang perdata sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka memelihara ketertiban hukum, kepastian hukum dan melindungi kepentingan negara dan pemerintah serta hak hak keperdataan masyarakat, antara lain: pembatalan perkawinan, pembubaran Perseroan Terbatas (PT) dan pernyataan pailit.
5. Tindakan Hukum Lain adalah tugas Jaksa Pengacara Negara untuk bertindak sebagai mediator atau fasilitator dalam hal terjadi sengketa atau perselisihan antar lembaga negara, instansi pemerintah di pusat/daerah, BUMN/BUMD di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Lebih lanjut, pengertian JPN lebih luas dapat ditemukan di Penjelasan Umum UU Kejaksaan disebutkan bahwa:
Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.
Dari penjabaran di atas, maka menurut hemat kami fungsi dan tugas Jaksa pada Kejaksaan dalam rangka penegakan hukum ada 3, yaitu:
1. Sebagai penuntut umum;
2. Sebagai pelaksana putusan pengadilan;
3. Sebagai JPN dalam perkara perdata atau tata usaha negara.
Komentar