Budaya Barayo” Model Covid-19 Oleh, Bagindo Yohanes Wempi

Sewaktu penulis masih mudo (remaja), tiga hari menjelang hari Raya Ied selalu pergi kepasar Pariaman membeli pakaian baru (baju, celana, sepatu, tarompa dan pernik lainnya). Barang tentu memakai uang sendiri hasil kerja kuli mencetak tembok (membuat batu bata) atau ikut malambuek padai (panen padi) kesawah. Jika dana kurang baru mintak sama amak (pangilan orang Tua).

Kemeriahan berbelanja kebutuhan lebaran tersebut terasa, Mobil angdes penuh, pasa piaman, lubuk alung, pasar nagari ramai oleh orang berbelanja kebutuhan untuk lebaran. Tidak itu saja menjelang hari Raya Ied tersebut suasana kampung seperti surau, lapau sudah mulai ramai oleh perantau pulang.

Kemeriahan menjelang hari Raya Ied ini diisi juga dengan banyaknya bersileweran mobil baru, mobil para perantau pulang dari beberapa kota. Sehingga suasana meriah menjelang lebaran sudah nampak. Suasana ini akan lebih meriah lagi saat masuk malam takbiran, dinagari penulis selalu diadakan takbir keliling pakai mobil dan ada juga beberapa nagari takbir keliling jalan kaki.

Saat pelaksanan sholat Iednya barang tentu penulis dan orang kampung keseluruhan akan memakai pakai baru, dan pernak pernik lainnya serba baru. Pokoknya saat itu tidak ada lagi puncak kegembiraan dengan semua hal baru. Penulis saat masih remaja selalu sholat Ied di masjid dekat rumah karena disana akan ketemu para dunsanak seperti apak, mamak, mande, saudara yang lain akan memberi uang (istilah kampung THR) disaat bersaman.

Setelah sholat Ied selesai, penulis pergi bersilaturahmi kerumah bako (rumah keluarga ayah), dengan tujuan bisa ketemu para perantau keluarga bako yang dipastikan akan memberi penulis uang. Biasanya saat hari pertama lebaran dihabiskan bersilaturahim dengan bako dan keluarga.

Pada hari kedua baru bersilaturahim atau berkunjung kerumah kawan/sahabat sesama sekolah. Namanya anak remaja, bertemu dengan kawan sesama sekolah, tentu suasana sangat menyenangkan. Saat pertemuan dengan kawan sekolah terkadang sepakat mengagendakan pergi barayo bersama menghadiri acara pesta pantai ke Pariaman atau pergi nonton biosko ke Padang.

Dikampung ada juga kebiasaan “pai barayo anak mudo” yang dimaksut disini adalah orang laki-laki didusun/korong pergi berkunjung kerumah penganten baru ditahun itu. Barayo anak mudo merupakan kebiasan adat orang piaman, laki dikampung piaman jika menikah atau penganten baru maka semua laki yang ada dikampung asal marapulai itu wajib pergi kerumah istri/anak daro dari laki-laki tersebut.

Pai barayo kerumah perempuan tersebut hanya untuk ramah tamah berkunjung, makan dan minum, terkadang waktu itu, sekitar ditahun 90an ada juga minuman beralkohol yang dihidangkan. Biasanya pergi barayo tersebut pakai kendaraan yang tidak mematuhi aturan berlalu lintas. Memang hari itu terasa ada kebebasan hidup.

Jika diceritakan indahnya lebaran diwaktu belum ada virus corona, sangat banyak cerita yang menarik, dan hal tersebut sudah menjadi budaya di Minang terkhusus di piaman dari generasi ke generasi. Sehingga menurut penulis budaya barayo sudah menjadi pakain hidup bersosial ditengah masyarakat yang berat dihentikan.

Keindahan dan kegembiraan yang diceritkan diatas pada saat penyakit menular covid-19 terjadi harus dihentikan atau ditiadakan. Masyarakat Minang terkhusus warga piaman tidak lagi bisa melakukannya karena saat ini Pemerintah, warga Indonesia dan warga dunia sedang berjuang dan berperang memutus rantau covid-19 agar hilang.

Maka kegiatan yang dilakukan diatas jangan diselengarakan dan tidak boleh dilakukan pada saat ini. Warga Minang harus lock down diri, membatasi kontak individu malah warga tetap berada dirumah. Tidak itu saja MUI dan Pemerintah menyeru warga sholat Ied dirumah masing-masing. Dikota Padang jika ada warga yang keluyuran diberi sangsi.

Virus corona hari ini memaksa warga merubah budaya barayo, jika warga ingin virus corona ini hilang, barayo dirumah saja dengan keluarga, barayo melakukan silaturahmi cukup melalui video call, telpon atau Wa-an sesama keluarga, teman, saudara dirantau atau orang kampung. Kemeriahan barayo cukup melalui aplikasi internet.

Situasi ini memang sulit, masyarakat harus menghilangkan budaya barayo yang sudah berabad-abad dilaksanakan atau diselenggarakan. Tapi apa boleh buat, virus corona tidak bisa bersahabat dengan warga. Jika melanggar maka terkena dan akhirnya dibawa kerumah sakit atau dikarantina ditempat khusus, bisa juga meninggal.

Sekarang tinggal tiga hari lagi menjelang hari raya Ied, maka dari sekarang putuskan diri lock down (tutup) tidak membeli baju baru, tidak membuat agenda kemeriahan yang melibatkan banyak orang, perantau jangan pulang, dan agenda budaya Minang pun disaat barayo ditiadakan. Mari tahan diri agar virus corona bisa terputus penyebarannya.

Saatnya samua warga Minang, Sumbar komitmen agar melock down diri, taati dan patuhi PSBB yang diterapkan Pemerintah. Stop budaya barayo caro lamo, Mari sama putus mata rantai penyebaran covid-19 agar rayo tahun depan bisa seperti biasa[*].

Komentar